31 August 2006

PEREMPUAN YANG MEMELIHARA NAGA

Matanya yang besar menyala menatapku dalam sikap curiga. Ada dua buah tanduk kecil yang mencuat dari kepalanya. Kulitnya tampak kasar bersisik. Aku bisa melihat sepasang sayap yang melipat di balik bahunya. Ia masih sangat kecil kala itu, dan kutemukan suatu malam meringkuk di bawah tempat tidurku. Aneh memang, jika aku tak memiliki rasa takut berlebih, sebagaimana seorang anak-anak melihat sesosok wujud yang mengerikan. Sebab begitulah adanya aku ketika melihatnya, dan untuk kemudian mengganggap ia sebagai teman kecil yang menyenangkan.

Begitulah ia suatu ketika dalam memulai cerita, sebagaimana yang pernah mereka ingat. Dan hingga kini, cerita itu masih berlanjut. Selalu saja ada kanak-kanak sekitar yang menyediakan diri di samping kursinya, untuk sekadar bermanja-manja dengan setiap ceritanya. Anak-anak itu selalu terlihat begitu seksama dalam mendengarkan cerita-ceritanya. Duduk bersila dengan tatap tak berkedip, memandang seorang perempuan yang bercerita dengan ekspresi yang demikian sempurna. Dan itu membuat kanak-kanak itu tampak jauh lebih khidmat, dibanding dengan menyaksikan film-film kartun di setiap sore akhir pekan.

Tak pernah ada yang mengingat kapan perempuan itu mulai mendendangkan cerita-cerita tentang naga. Seakan-akan semua itu telah berlangsung selama berpuluh tahun hidupnya. Di setiap senja, ia akan bersiap di beranda di atas kursinya. Memanjakan diri dengan rajutan benang wol yang seakan tak pernah kunjung selesai. Sembari menunggu kanak-kanak yang tak berapa lama akan datang berduyun-duyun tiba, untuk mendengarkan sebuah cerita tentang seekor naga yang dipeliharanya. Selalu saja tentang naga, yang ia ceritakan dengan jalan cerita yang setiap kali berbeda. Pada suatu ketika, ia bercerita tentang naganya yang sakit keras, sehingga ia harus membuat sebuah ramuan khusus dari jamur-jamuran langka untuk mengobatinya. Kali lain, ia berkisah tentang naganya yang pemurung. Dan ia harus menghabiskan waktunya untuk melakukan hal-hal konyol, agar naga itu kembali ceria. Demikianlah, anak-anak itu tak pernah mendengar bentuk cerita yang sama di setiap senja. Dan itu akan membuat mereka senang, serta datang kembali di keesokan harinya.

Setiap hari di setiap senja, perempuan itu selalu bercerita tentang naga yang dipeliharanya. Tak pernah ada senja yang terlewat. Aneh memang, jika anak-anak yang datang dalam setiap harinya terkadang ada yang tak datang karena sakit atau alasan lain, maka perempuan itu tak pernah sekalipun meninggalkan kewajibannya untuk bercerita di setiap senja. Anak-anak pun mulai membangun ceritanya sendiri, bahwa perempuan itu telah mendapat berkah dari Tuhan karena memelihara naga, dan karenanya ia terjaga dari sakit atau luka. Belakangan, anak-anak itu pun percaya, bahwa perempuan itu tak pernah bertambah usia. Ia selalu tampak begitulah adanya, dalam waktu yang seakan membeku di wajahnya. Mereka membanding-bandingkannya dengan orang-orang tua mereka, yang kini mulai tampak renta dengan kulit keriput dan warna putih di rambutnya.

Sejak menemukannya, aku memeliharanya di dalam kamarku untuk memudahkanku merawatnya. Perlu kalian ketahui, ia bukan sejenis naga yang tumbuh menjadi sebesar gunung atau bukit. Nagaku seakan hanya mampu tumbuh sebesar ranjang tidurku, dan itu membuatku cukup untuk menyimpannya di kamarku. Tapi percayalah, dengan tubuh seukuran itu, ia akan mampu melahap tubuh orang dewasa dengan sekali telan. Giginya sangat runcing untuk mengoyak daging manusia. Dan tidak lupa, nagaku punya cakar yang lebih tajam dari milik serigala jenis apapun. Tapi jangan khawatir, ia cukup jinak untukku. Dan tanpa ijinku, tak akan kubiarkan ia lepas dari kamarku walau untuk semilimeterpun. Karena itu, aku tak akan mempertunjukannnya pada kalian. Aku hanya akan menceritakannya, maka dengarkanlah ceritaku baik-baik.

Begitulah kemudian, ia akan bercerita kepada anak-anak yang mengelilinginya. Dan anak-anak itu seakan terpedaya, memasang telinga dan tatap mata mereka hanya pada kata-kata dan wajah perempuan yang akan bercerita. Mula-mula, cerita itu akan dimulai dari bagaimana ia menemukan naga itu di bawah tempat tidurnya. Kemudian, dilanjutkan dengan peristiwa-peristiwa yang ia alami dalam memeliharanya. Cerita itu lalu mengalir begitu saja, seakan sebuah kisah seribu satu malam yang tiada habisnya. Dan bayangkan pula, bila perempuan dan anak-anak itu harus menceritakan dan mendengarnya pula di setiap hari di setiap senja. Anehnya, mereka tak tampak bosan atau kelelahan. Bahkan, perempuan itu kadang harus menjawab pula beberapa pertanyaan lugu anak-anak tentang naga yang dipeliharanya.

“Apakah nagamu memiliki nama?”
“Tidak. Aku hanya menyebutnya ‘naga kecil’.”
“Berapakah umurnya?”
“Seumur denganku.”
“Apakah ia laki-laki?”
“Ya, ia naga jantan.”
“Ia kau beri makan apa?”
“Daging yang aku beli dari pasar.”
“Apakah ia tidak bosan terus menerus berada di kamar?”
“Kadang kami keluar juga, tapi tak seorang pun yang bisa melihatnya. Kadang ia juga terbang sesuka hati untuk kemudian kembali.”
“Apakah kau pernah menungganginya untuk terbang?”
“Pernah, tapi ia tak begitu suka ditunggangi.”
“Apakah ia suka menyemburkan api?”
“Ya, kalau marah ia suka menyemburkan api.”
“Apakah ia bisa berbicara?”
“Ya, ia bisa bicara dengan bahasa yang berbeda.”
“Apakah nagamu tidur mendengkur seperti ayahku?”
“Sedikit.”
“Apakah kami bisa memegangnya?”
“Tidak, kau akan dilahapnya.”
“Kalau kau bisa, mengapa kami tidak?”
“Karena aku adalah perempuan yang diberkati Tuhan untuk memeliharanya, sedang kalian tidak.”
“Siapa yang mengirimkan naga untukmu?”
“Entahlah, mungkin Tuhan.”
“Apakah kami bisa memiliki naga juga?”
“Mintalah pada Tuhan, mungkin Ia berkenan mengirimkannya untukmu.”

Pertanyaan-pertanyaan semacam itu akan datang bertubi-tubi, yang selalu dijawabnya pula dengan kesabaran yang bersahaja. Tapi perempuan itu hanya memberi kesempatan anak-anak itu untuk bertanya pada awal dan akhir cerita, demi tidak untuk menyelanya di tengah cerita. Dan hingga matahari telah benar-benar tenggelam, seluruh cerita tentang naga pun usai. Selalu begitu tepat waktu seakan setiap cerita telah diatur sedemikian cermat. Maka berhamburanlah anak-anak itu menuju jalan pulang. Memenuhi panggilan orang tua mereka yang telah berteriak-teriak dengan nada muram. Dengan bayang-bayang, cerita apakah yang akan mereka dapatkan di esok petang.
***

Tak pernah ada orang tua yang melarang anak-anak mereka untuk mendengarkan cerita tentang naga dari perempuan itu. Sebagaimana juga tak pernah ada orang tua yang sungguh-sunggguh percaya bahwa perempuan itu memelihara naga. Orang-orang sekitar hanya menganggap itu sebagai bualan besar yang disenangi kanak-kanak. Sebagai penenang anak-anak mereka agar tidak lagi berkelahi, bermain di jalan-jalan, atau mencuri bebuahan di pohon tetangga di setiap senja. Lagipula, hingga kini tak pernah ada yang benar-benar menyaksikan dengan langsung kehadiran naga itu di rumahnya. Entah sekadar dengusan nafas besar, eraman keras, atau pun mata merah besar menyala di jendela. Begitulah seterusnya anggapan mereka hingga berpuluh tahun ini.

Bahkan, adapula orang-orang yang menganggap ia sebagai perempuan gila. Didorong oleh pemikirian bahwa keterasingan dan keterkucilan dari masyarakat sekitar akan menjelma racun jiwa bagi siapapun, terlebih untuk perempuan itu. Sebab perempuan itu seorang penyendiri dan tak pernah mau beramah tamah dengan orang-orang sekitar, kecuali anak-anak yang datang untuk mendengar ceritanya di setiap senja. Orang-orang sekitar pun menjauhinya karena perempuan itu sering berlaku tak biasa. Terkadang perempuan itu seakan berbicara entah dengan siapa. Dan ketika orang-orang bertanya, ia menjawab dengan bahasa yang tak dimengerti oleh siapa-siapa. Akhirnya, orang-orang sekitar pun membiarkannya hidup sendiri, tak pernah ada lagi yang peduli, selain tentu saja anak-anak yang mendengar ceritanya setiap senja. Walau demikian, sebagaimana anak-anak itu, adapula sebagian orang-orang yang sedikit bersimpati padanya. Kebanyakan adalah kaum perempuan, didorong oleh kepedulian sesama kaumnya. Namun, tentu saja mereka terlalu takut untuk mengungkapkannya. Lebih mudah hanya berdoa untuk keselamatannya, dibanding resiko untuk ikut dianggap gila. Dan terlepas dari tingkah laku perempuan itu yang tak biasa. Ia hanya seorang perempuan yang bersahaja. Selalu tampil rapi dengan rambut lurus menjuntai dan harum pada tubuhnya. Pakaian berendanya selalu berwarna hitam. Tentu ia memiliki alasan, tapi tidak untuk dikatakan.

Perempuan itu tak memiliki keluarga pula. Kedua orang tuanya pergi tiba-tiba dengan menyisakan sebuah rumah dan kekayaan yang mungkin cukup untuk seumur hidupnya. Hanya ada seorang teman jauh ibunya yang kadang-kadang mengunjunginya. Didorong atas keinginan balas budi karena orang tua perempuan itu telah menyelamatkan nyawanya entah dari apa. Perempuan itu hanya menyebut teman ibunya itu dengan sebutan Sang nenek. Mungkin dengan alasan bahwa teman ibunya itu memang telah tampak renta. Dan sebagaimana pernah diakuinya kepada anak-anak yang selalu mendengar ceritanya, bahwa ia tak mengenalnya sama sekali. Sang nenek akan berkunjung di waktu-waktu tak tentu. Dengan membawa beberapa jenis makanan ringan dan benda-benda seadanya. Kemudian selalu menyempatkan diri bermalam untuk beberapa hari. Sementara perempuan pemelihara naga itu hanya menggapnya sekadar Sang nenek jauh yang datang berkunjung seperti biasa. Didasari penghormatan dan kenyataan bahwa Sang nenek adalah teman baik orang tuanya. Lagipula tak pantas rasanya bila ia berlaku kurang ajar pada seorang wanita yang telah tua itu, misalnya dengan mengusir atau memintanya pulang.

Namun itu pula yang mengakhiri segalanya. Sebagaimana kemudian ketahui oleh orang-orang. Dan sesungguhnya, sebuah perpisahan telah diisyaratkan oleh perempuan itu kepada anak-anak yang selalu mendengar ceritanya setiap senja. Tapi terlalu dini bagi anak-anak itu untuk mengerti.

Malam tadi, aku bertemu kedua orang tuaku dalam mimpi. Ini hal yang tak pernah aku alami sebelumnya. Telah lama aku merindukan mereka. Karena sebagaimana kalian tahu, aku tak memiliki seorang pun keluarga, selain naga kecilku dan kalian sahabat-sahabatku. Kedua orang tuaku meninggalkanku sedari usiaku belum cukup matang mengarungi hidup. Entah mengapa dan kemana. Hanya foto-foto usang dan harta benda yang mereka tinggalkan. Aku kini sedih, sangat sedih. Aku sangat merindukan kedua orang tuaku, mungkin begitu pula kedua orang tuaku. Ah, sepertinya naga kecilku pun telah cukup usia untuk memelihara dirinya sendiri.
***

Akhirnya, tak ada lagi kanak-kanak yang datang setiap senja ke beranda rumahnya. Hal itu bukan tanpa sebab. Suatu hari, perempuan itu ditemukan terkapar di rumahnya dengan kepala berlumuran darah. Nyawanya kemudian tak terselamatkan. Hasil autopsi menghasilkan temuan seadanya, bahwa kematiannya disebabkan pukulan benda keras tumpul di kepala. Sebagaimana kemudian ditemukan sebuah guci tua yang pecah berhamburan dan berlumurkan darah, diduga sebagai alat pemukul yang menyebabkan kematiannya. Tubuh tak bernyawa perempuan itu ditemukan oleh Sang nenek ketika waktu menunjukan pagi tiba.

“Itu saat ketika aku hendak mengantarkan sarapan paginya.”

Begitulah keterangan Sang nenek. Tetapi polisi terlalu bercuriga. Itu terlalu dini untuk sebuah sarapan pagi. Dan setelah melalui sederatan investigasi dan penyidikan yang sempurna, kenyataan itu akhirnya terungkap. Motif rakus harta benda menjadi akar mulanya. Sang nenek menduga bahwa keluarga itu menyimpan sebuah harta karun berwujud peti berisi penuh emas di kamarnya. Itu disebabkan karena orang tua perempuan itu adalah suami istri yang telah melakukan pencurian sebuah peti berisi emas dari sebuah bank puluhan tahun lalu. Sang nenek pula yang telah membunuh kedua orang tua perempuan itu, dan menguburnya di halaman belakang rumahnya. Dan selama ini, ia menutupi kebohongan itu dengan berbaik hati mengunjungi perempuan itu, agar suatu ketika bisa menemukan di mana letak penyembunyian emas itu berada.

Namun, sekian tahun berlalu, setelah ia menggeledah sebagian besar rumah itu dengan berpura-pura datang berkunjung, peti berisi emas itu tak juga kunjung ditemukan. Dan hanya satu tempat yang belum terjamah, yaitu kamar sang perempuan. Perempuan itu selalu berdalih ada seekor naga di kamarnya, dan karena itu ia tak akan mempersilahkan seorang pun masuk. Tak terkecuali, Sang nenek perayu yang selama ini berbaik hati padanya.

“Naga itu tak terlalu jinak untuk selain diriku. Bahkan seekor kucingku dilahapnya. Aku tak mau kau mati karena itu,” ujar perempuan itu beralasan.

Namun sebagaimana ketidakpercayaan semua orang, Sang nenek tahu itu hanya omong kosong belaka. Sebab ia tak penah benar-benar menyaksikan isyarat kehadiran naga di kamar perempuan itu selama berpuluh tahun. Pasrah karena perempuan itu tak bisa diperdaya dengan bujuk rayu, Sang nenek menyiapkan rencana selicik ular dan sejahat serigala. Sebelumnya, ia hanya bermaksud membuat perempuan itu tak sadarkan diri, dan kemudian menggeledah kamarnya demi peti berisi emas itu. Namun, kenyataan berbicara lebih. Maka terjadilah yang telah terjadi. Dan perempuan sang pemelihara naga itu kehilangan nyawa, dengan bermandikan darah di kepalanya.

Sebagaimana kemudian yang diketahui orang-orang. Emas itu tidak juga ditemukan. Hanya saja pertanyaan mulai muncul di benak orang-orang sekitar, setelah tiba sebuah berita mengejutkan. Sang nenek pun mulai gila di tengah penghukumannya. Dan pada saat-saat terakhir, ia telah meneriakan sesuatu yang lebih jahat dari dosa-dosanya.

“Ada naga di kamar perempuan itu. Matanya yang besar menyala menatapku dalam sungguh murka. Dia tahu bahwa aku telah membunuh tuannya. Dua buah tanduk tajam yang mencuat dari kepalanya adalah untuk merobek tubuhku. Cakar di kedua lengannya bersiap untuk mencengkram kepalaku. Kedua sayapnya yang lebar membentang adalah untuk terbang mengejarku. Ia bersumpah hendak membunuhku pada malam purnama ke tiga puluh. Tolonglah! Aku akan mati karena naga peliharaan perempuan itu. Ia akan memburuku!”

Sebagaimana dengan pemikirannya dulu. Semua orang mengganggap itu hanya sebagai bualan kosong belaka. Hingga pada suatu pagi, setelah malam purnama ketiga puluh, orang-orang menemukan hal yang paling mengerikan yang pernah mereka lihat. Di dalam penjara, Sang nenek itu ditemukan tewas mengerikan dengan tubuh terkoyak, kepala hancur, dan beberapa bagian tubuh lain terbakar hangus serta berserakan seperti tercabik. Tak ada jejak lain dari sang pembunuh. Hanya menyisakan tapak besar berlumur darah kental di lantai. Semacam tapak naga pembunuh.

Bandung, 12062006, 05:22

No comments: