22 August 2006

Ketika Malam


Malam berselimut kabut dan dingin. Kecemasan dan rasa takut menyelinap di lorong-lorong hati Santo. Dahinya tampak berpeluh. Bahkan, sekujur tubuhnya seakan basah oleh keringat yang mengucur deras. Namun, penderitaan hidup yang ditanggungnya selama ini ternyata lebih kuat memaksanya untuk terus melangkah mendekati rumah megah itu.

“Jangan lakukan Santo, mencuri itu perbuatan yang dikutuk Tuhan,” kata-kata istrinya itu masih saja terngiang-ngiang di telinganya.

“Tuhan? Huh, sejak kapan Tuhan perduli pada kita? Selama ini kita selalu percaya pada-Nya, memuja-Nya, mengikuti setiap perintah-Nya, tetapi lihat, balasan apa yang Ia berikan pada kita! Kekayaankah? Tidak, Surti! Tuhan tidak pernah peduli pada kita. Lalu untuk apa kita juga harus peduli padanya?”

“Tak sepantasnya kau berkata begitu! Tuhan selalu perduli pada kita. Bersyukurlah bahwa Ia masih memberi kita kehidupan. Kemelaratan ini hanya setetes ujian bagi keimanan kita.”

“Persetan dengan Tuhan dan ujian-Nya. Aku hanya tak ingin lagi hidup melarat. Titik!”

“Tapi, Santo…”

“Mengertilah sedikit Surti. Pekerjaanku sebagai buruh tak pernah bisa memenuhi kebutuhan hidup kita. Kulakukan ini demi kelangsungan hidup kita selanjutnya. Hutang kita telah cukup banyak. Apakah kau tidak merasa malu ketika si Romlah itu tidak mengijinkan kau lagi untuk menghutang di warungnya. Lihatlah ketiga anak kita, Si Sulung, ia berapa kali ditegur oleh gurunya karena sudah beberapa bulan ia menunggak uang SPP. Belum lagi Si Jaka yang harus berjualan koran untuk membantu meringankan biaya hidup kita. Lalu untuk susu Si Kecil ini, kita harus dapat duit dari mana? Ah, sudahlah, Risman sudah menungguku di warung ujung gang sana. Malam ini sudah kuputuskan untuk ikut dengannya.”

Santo pun beranjak dari rumahnya diiringi dengan teriakan-teriakan istrinya yang memanggil-manggilnya untuk kembali. Namun Santo tidak lagi menghiraukannya. Hatinya telah teguh, segenap niat pun telah ia bulatkan untuk ikut Risman merampok salah satu rumah mewah di kompleks perumahan elit itu tengah malam nanti. Di kejauhan, Surti, istrinya, kecewa karena ia lupa bercerita tentang mimpi buruknya beberapa hari yang lalu. Mungkin semacam pertanda atau firasat bahwa akan terjadi sesuatu yang buruk dalam hidupnya. Tetapi ia masih belum mampu memastikannya. Sementara langit tampak mendung dan angin yang mengantarkan rasa dingin berdesir halus. Santo dengan terburu-buru berjalan menuju warung remang-remang di ujung gang. Risman yang telah menunggu, kemudian segera menyambut kedatangannya.

“Akhirnya kau datang juga Santo. Kedatanganmu ini menandakan keberanianmu untuk aksi kita malam ini. Apakah kau sudah siap?”

Santo terdiam dalam bimbang. Kepalanya menunduk. Namun, ia ingat bahwa SPP Si Sulung harus secepatnya dibayar, ia iba pada Si Jaka yang berjalan di tengah terik mentari untuk menjajakan koran dan majalah, ia ingat Si Kecil yang selalu merengek minta disusui tapi payudara istrinya tak mampu lagi mengeluarkan ASI, dan ia juga ingat warung di depan rumahnya tidak lagi mau untuk memberinya hutang untuk keperluan rumah tangganya. Bayangan itu membuat tekad Santo bangkit kembali. Ia tidak mau lagi hidup terpuruk dalam jurang kemiskinan

“Ya, aku siap Risman,” ucapnya tegas.

Risman menatapnya tajam. Risman tahu bahwa masih ada gurat-gurat kebimbangan di wajah Santo. Bagaimanapun ini adalah untuk pertama kalinya Santo melakukan perampokan. Sementara Risman sendiri sudah berpengalaman dalam hal ini. Bahkan, ia pernah beberapa kali masuk penjara karenanya. Sesungguhnya Risman pun enggan untuk mengajak Santo melakukan perampokan ini. Apalagi, Santo tidak punya pengalaman sedikitpun dalam hal kejahatan. Akan tetapi, Santo mendesaknya agar menyertakan dirinya dengan berbagai alasan. Akhirnya, Risman pun terpaksa membawa Santo dalam aksi perampokan kali ini.

“Ingatlah Santo, apa yang akan kita lakukan ini penuh dengan resiko. Jika kita bernasib sial, mungkin intimidasi aparat sudah menunggu kita di balik jeruji besi. Bahkan bisa lebih parah lagi, kematian akan menimpamu. Teguhkan hatimu dari sekarang. Pekerjaan kita ini terlarang bagi keragu-raguan. Jika sedikit saja ada kebimbangan di hatimu, lebih baik mundur saat ini juga karena keraguan adalah awal kegagalan kita.”

“Sudahlah Risman, kita sudah bicarakan hal ini berulang kali. Akupun telah mengerti. Itulah sebabnya aku berani datang karena lebih besar tekadku untuk segera lepas dari kemelaratan. Sesungguhnya merekapun tak kurang bajingan daripada kita, bukan? Harta yang mereka dapatkan adalah hasil praktik culas dan memeras rakyat jelata. Hanya saja cara yang mereka gunakan lebih rapi dan licik. Merekalah yang membuat kita semua terpaksa terus-menerus merasakan hidup yang keparat. Mereka akan menerima pembalasannya malam ini.”
Risman pun tertegun dengan tekad Santo. Ia mengangguk pelan.

“Baik. Apakah kau sudah siapkan peralatannya?”

“Lengkap.”

“Bagus. Kita segera beranjak.”

Santo kembali menepiskan kebimbangannya. Kemudian dipandanginya Risman dan beberapa kawan lain yang juga ia kenal. Ia mencari-cari, namun tak jua ia temukan kebimbangan semacam yang dirasanya. Terbawa suasana yang lainnya, maka ia semakin menguatkan kembali hatinya, dan kian terbawalah ia pada gairah nafsu untuk menjarah kekayaan. Kemudian dengan komando Risman, setelah meyakinkan segala persiapan telah sesuai rencana, bergegaslah mereka menuju sasaran.

Malam menjelang kian larut. Rerimbun pohon bergoyang dengan penuh irama kecemasan. Tak dirasa, mereka kini telah tiba di bagian samping rumah megah yang dituju. Pagarnya menjulang setinggi lima meter dengan besi-besi runcing di ujungnya. Risman kemudian memberi isyarat pada Santo untuk bersiap siaga, juga untuk terus waspada. Itu semacam aba-aba bahwa mereka akan mulai berkerja.


Continued

No comments: