31 August 2006

BACA AJA DECH ......

Era globalisasi telah demikian berkembang. Pesatnya kemajuan teknologi dan industri semakin tak terbayangkan. Di satu sisi, hal tersebut merupakan bukti bahwa kita memiliki kemampuan untuk terus bergerak dinamis dan melaksanakan pertumbuhan. Adapun pada keyataannya, hal tersebut memang memberikan kontribusi yang signifikan bagi kehidupan manusia ke arah yang lebih baik. Dalam bidang pendidikan misalnya, kualitas pendidikan semakin meningkat seiring berkembangnya dan terpenuhinya fasilitas-fasilitas yang semakin memadai demi kelancaran dan suksesnya kegiatan proses pembelajaran. Dalam bidang lainnya, sistem ekonomi agraris yang bersifat tradisional, lambat laun bergeser menuju sistem ekonomi industrial yang lebih modern.

Akan tetapi, setiap perubahan selalu menyimpan dua sisi, baik sisi positif, maupun sisi negatif. Demikian pula dengan pesatnya roda globalisasi serta dinamisasi ilmu pengetahuan dan teknologi, tak mampu mengelak dari dampak yang ditimbulkannya, baik positif, maupun negatif. Dampak positifnya telah kita rasakan berupa peningkatan kualitas kehidupan di beberapa bidang semisal teknologi, industri, ekonomi, sosial, politik, maupun pendidikan. Berbagai hal tersebut merupakan buah dari kerja keras yang layak mendapat penghargaan. Bukankah Allah swt. dalam Al Quran surat Ar Ra’du telah berfirman bahwa Ia tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri sendiri. Demikianlah kita, telah berupaya menentukan jalan untuk masa depan kita sendiri dengan perubahan.

Walau demikian, sisi negatif yang timbul dibalik kilau kemajuan teknologi industri serta pesatnya globalisasi ternyata perlu kita khawatirkan. Betapa tidak, kemajuan yang kita kecap ternyata juga menimbulkan pergeseran terhadap nilai-nilai dan standar moral yang selama ini kita anut. Tanpa sadar, lambat laun kita diseret untuk semakin menjauh dari cita-cita etika yang ingin kita capai, bahkan dari yang telah kita capai. Karenanya, timbulah setumpuk problematika yang tak dikenal sebelumnya, yang tanpa sadar mengancam keberlangsungan kemapanan peradaban manusia.

Perbincangan tentang krisis moral kemudian menjadi sedemikian utama. Hal ini dikaitkan dengan prilaku masyarakat, khususnya generasi muda, yang seakan tak lagi mengenal batas. Hak untuk kebebasan menjadi dalih dan pembenaran terhadap setiap tindakan. Ajaran agama dan etika yang seharusnya jadi panutan seketika lumer oleh silaunya modernisasi yang kebarat-baratan. Generasi muda bangsa tak lagi berkehendak untuk menampilkan lagi moralitas dan etika ketimurannya.

Hedonisme, materialisme, dan sikap konsumtif menjangkiti setiap gerak masyarakat sebagai akibat kurang kokohnya benteng moralitas diri. Generasi muda pun mulai gandrung terhadap budaya funky, trendy, modies, hingga seks bebas. Hal tersebut sejalan pula dengan maraknya narkotika, alkohol, obat-obatan terlarang, dan penyakit moral lainnya. Semua ini menunjukan betapa telah terpuruknya generasi bangsa, serta adalah tugas yang teramat berat untuk menyembuhkannya.

Degradasi moral generasi muda tersebut tak lepas dari kewaspadaan orang tua yang karena pergeseran budaya lambat laun menjadi semakian abai. Para orang tua dijejali dengan berbagai kesibukan yang diluar batas kewajaran demi kepentingan materi belaka hingga tak ada waktu tersisa untuk memperhatikan apa yang terjadi dengan putra-putri mereka. Curahan kepedulian lebih sering difokuskan pada hal-hal yang bersifat keduniawian, sementara kebutuhan aspek batiniah dan kasih sayang semakin jauh dari pengamatan. Hal ini tentu berefek buruk bagi prilaku dan sikap generasi muda dalam menjalani kehidupan. Tak heran jika kehidupan mereka kian tidak terkontrol dan jauh dari harapan hidup lebih baik.

Mencermati fenomena tersebut, perlu dicarikan solusi terbaik untuk mengatasinya. Beberapa hal mungkin bisa dijadikan alternatif dasar pemecahannya. Pertama, penyadaran peran orang tua sebagai pendidik. Dalam hal ini, fungsi orang tua dalam memberikan pencerahan terhadap putra-putrinya menjadi sangat penting. Orang tua harus selalu menanamkan ajaran-ajaran kebaikan, baik itu bersumber dari ilmu-ilmu agama, maupun etika yang berlaku di masyarakat. Hal tersebut tidak hanya meliputi aspek pemahaman akan tetapi lebih pada tataran aplikasi, misalnya dengan memberikan teladan prilaku dan sikap yang baik. Curahan kasih sayang dalam suasana kekeluargaan bisa dijadikan jalan untuk lebih mendekatkan sikap saling pengertian hingga sang anak bisa lebih nyaman untuk menempatkan dirinya dalam didikan orang tua.

Kedua, optimalisasi lembaga pendidikan. Peran lembaga pendidikan, sekolah misalnya, harus mampu memberikan segenap fasilitas untuk tumbuh berkembangnya kemampuan intelektual, emosional, dan spiritual anak didik. Lembaga sekolah harus memaksimalkan fungsinya sebagai kelanjutan dari peran orang tua sebagai pendidik. Apabila berbagai optimalisasi tersebut berjalan baik, maka anak didik, dalam hal ini generasi muda, akan memiliki kemampuan intelektual yang mumpuni, selain juga mempunyai kematangan emosional dan kemapanan spiritual yang baik.

Ketiga, keterlibatan lingkungan masyarakat. Sebagai lingkup terluas dalam kehidupan sosial, masyarakat memegang peran penting untuk menentukan kepatutan prilaku generasi muda. Lingkungan masyarakat hendaknya menjadi wadah yang mampu melayani segala potensi dan memberikan ruang gerak yang cukup untuk perkembangan generasi muda. Masyarakat diharapkan mempunyai kepahaman dengan apa yang menjadi harapan lembaga pendidikan dan keluarga. Selain itu, lingkungan masyarakat sepatutnya memberikan kepercayaan dan tanggung jawab kepada generasi muda untuk mengemban amanat dalam kehidupan sosial.
Dengan pensinergian ketiga hal di atas, akan lahir generasi muda yang tangguh mempertahankan diri dari ancaman dampak negatif globalisasi, tidak sebaliknya, menyerah kalah dan terjerumus dalam terkaman degradasi moral yang akut. Wallahu Aa’lam bishshawab.

No comments: