Ia datang bersama malam. Pada suatu ketika. Waktu itu musim belum beranjak bosan dari kecemasannya. Dan aku merasakan kegelisahan yang tiba-tiba. Rasanya bagai menopang seluruh beban semesta di bahuku. Tapi tatap matanya memancarkan keceriaan sebuah permainan. Bermanja serupa bocah gadis yang memohon sebuah boneka Barbie untuk kado ulang tahunnya. Lama memang kami tak jumpa. Masing-masing harus membenamkan diri pada kesibukan yang di luar batas kewajaran. Ini mungkin sekadar jeda, sebuah liburan singkat. Dan ia tanpa ragu menyerbuku, berharap melepas setumpuk kerinduan yang telah hampir meledak di dadanya.
Maka bermanja-rialah sikapnya padaku. Kemesraan yang tak mampu terbendung. Kami habiskan waktu dengan masa bersama sepenuhnya. Serasa tak ada lagi waktu, karena dunia mungkin akan luluh lantak di esok hari. Dan hal yang paling indah baginya selalu, adalah memandang langit malam yang penuh tebaran bintang. Saat itu, kami akan luangkan waktu sejenak. Menghamparkan diri pada sebuah taman lapang untuk kemudian duduk atau berbaring menengadah. Mengagumi keindahan langit malam tanpa berdecak. Hanya sesekali kami berbincang, selebihnya adalah menyimpan tatap dan angan pada suatu ruang yang entah di mana.
Namun kali ini, aku merasa tak biasa. Resah yang selama ini menebar benih, telah menyubur, belukarnya terasa amat menyesakkan. Aku mengerti. Kami tak selamanya bisa bersama. Ini hanyalah sebuah kefanaan. Sesuatu yang akan pupus dihantam putaran waktu. Dan kami telah begitu saling mengerti. Menunggu satu sama lain untuk bersiap, berkemas, untuk kemudian menghilang. Mungkin inilah waktu itu. Dan sebagaimana perkiraanku, dialah yang akan melenyapkan diri terlebih dahulu.
Ia melamarku kemarin malam, ucapnya di sela waktu.
“Sungguh.”
Ya, awalnya sih aku kira bercanda, tapi sepertinya serius.
“Aku ngak tahu harus bilang apa. Kebanyakan perempuan akan bahagia bila dilamar. Selamat! Aku turut bahagia untukmu.”
Sungguh?
“Tentu saja.”
Ia menanggapinya dengan diam. Tiba-tiba aku menghirup nafas mendung di wajahnya.
“Kenapa? Ada masalah?”
Aku sedih.
“Ya, kelihatan di muka kamu.”
Aku harus bagaimana? tanyanya sunggguh-sunggguh.
“Secara harfiah, kalian seharusnya sudah sama-sama siap. Masalahnya, mungkin secara psikologis kamu masih bimbang. Tapi kamu sendiri telah tahu jawabannya. Banyak hal yang tak perlu dipertimbangkan, kamu hanya perlu melakukan.”
Sulit rasanya membayangkan harus memasrahkan segenap raga, juga sukma pada laki-laki yang tidak kucintai.
“Kamu berhak memilih. Tapi aku ragu kamu bisa. Pahamilah dari kini. Inilah kepatutan hidup. Setiap pilihan menyimpan setiap kemungkinan, juga kesulitan-kesulitan. Namun, ketika kau telah memutuskan, tak ada waktu lagi untuk membantah. Segalanya mesti kau terima dengan tabah. Yakinlah bahwa Tuhan bersama orang-orang yang penyabar. Dan kenyataannya, tidak sedikit pasangan yang mulai belajar mencintai setelah mereka bersama. Aku yakin kamu bisa. Biarlah waktu yang nanti akan membantumu. Usailah meresahkan diri sendiri, suatu ketika akan kau temukan jawabannya.”
Hanya satu yang kini kupikirkan, katanya tiba-tiba.
“Apa?”
Kamu.
“Lho, kenapa dengan aku?”
Aku masih menginginkan kamu.
Kata-katanya menyimpan kesungguhan yang sempurna. Pandangannya menyergapku dengan lekat. Tapi kini aku telah begitu terbiasa dengan permohonan semacam ini. Telah lama, terlalu lama. Kami selalu memperdebatkan hal yang sama. Namun, tak juga kunjung kami mengerti segala yang terjadi.
“Kita sudah bicara banyak tentang ini. Hadapilah kenyataan. Sudah tak ada takdir untuk kita. Aku hanya persinggahan sejenak.”
Kenapa aku tak bisa memiliki orang yang aku cintai? tanyanya kembali dengan lantang.
“Kenyataannya bahwa sebagian besar perempuan tampaknya tidak terlalu membutuhkan laki-laki yang dia cintai, sebaliknya ia lebih perlu laki-laki yang mencintanya. Suatu saat kamu akan sadari itu.”
Sepertinya ia tak terlalu puas dengan sebuah jawaban. Kembali ditatapnya mataku lekat dan erat. Dahinya berkerut. Sebuah tanda bahwa ia berpikir banyak-banyak. Dan pertanyaan yang ia lontarkan kemudian begitu pekat dengan rasa curiga.
Katakan! Apakah kau juga menginginkanku sebagaimana aku menginginkanmu?
“Sejujurnya,” ucapku dengan mencoba mengais setiap kemungkinan untuk sebuah jawaban yang terbaik, “aku pernah menginginkanmu.”
Pernah?
“Ya, pernah. Tapi kita sama-sama tahu. Impian itu kandas sejak .... Ah, mungkin kita tak perlu mengungkit masa lalu. Untuk kemudian hanya akan mengungkap kenangan buruk. Lalu berdebat tentang penyesalan, cinta, juga airmata. Dan kita, kemudian akan kembali berputar-putar di tempat yang sama.”
Apakah kini kau tidak lagi mencintaiku?
“Tentu tidak mudah melupakan cinta. Aku masih mengasihimu. Itu benar. Tapi kita telah sama-sama mengerti kesulitan yang kita hadapi. Pengalaman hidup mengajarkan aku untuk berlaku bijak dan tabah. Setelah banyak aku kehilangan sesuatu. Bahkan untuk yang paling pedih sekalipun. Kini, kita mesti banyak belajar untuk mencintai tanpa takut kehilangan.”
Tapi aku tak ingin kehilangan kamu. Aku ingin terus mencintaimu. Aku ingin tetap memilikimu. Selalu sampai kapanpun.
Perasaannya kian meluap serupa ombak pasang.
“Tentu, aku tak bisa memaksamu untuk berhenti mencintaiku. Hanya hatimu sendiri yang mampu melakukannya. Tapi ada orang lain yang mungkin lebih berhak memilikimu. Seseorang yang dulu telah kau pilih. Tak perduli walau rasa penyesalan itu masih selalu menjeratmu. Aku yakin, waktu bisa mengatasi segalanya, tak terkecuali cinta. Lambat laun aku akan tergantikan, cinta ialah ibarat jamur di musim penghujan. Akan muncul dengan tiba-tiba. Karena itu, bukakanlah hatimu. Belajarlah untuk mencintainya dan kau akan menemukan kasih sejatimu.”
Malam bertambah malam. Aliran dingin menyergap suasana. Menyelusup ke dasar hati yang terdalam. Dan sedikit demi sedikit membangkitkan kekecewaannya akan harapan yang tak berbalas.
Sepertinya kamu senang ya, kalau aku pergi dari kamu? Agar kamu juga bisa pergi ke lain hati, kan?
“Tak baik berburuk sangka. Tentu orang-orang akan yang bersedih jika kehilangan orang terdekatnya, tak terkecuali aku. Demi Tuhan, aku akan sedih kehilanganmu. Kita tak mampu bersama bukan karena sebuah alasan, tetapi lebih karena sebuah keniscayaan. Tak pernah ada sesuatu yang abadi, pun untuk hidup itu sendiri. Segalanya hanya sebuah kesementaraan. Sadarilah arti perpisahan sebelum memulai sebuah pertemuan. Pahamilah makna luka ketika akan tertawa. Karena perpisahan kadang juga menyimpan setumpuk pelajaran dan kebaikan. Suatu saat kau akan mengerti itu, aku yakin.”
Aku tuh nekad banget ya, terlalu memaksakan kehendak, ujarnya kemudian.
“Aku telah mengenalmu jauh dari yang kamu kira. Kamu pemberani, seperti pejuang. Tegar bagai karang, berkobar laksana api. Telah banyak yang kamu hadapi. Dan itu membuatmu belajar untuk terus bertahan tanpa menyerah. Karena menyerah adalah berarti pupus. Tergilas kenyataan yang tak memihak. Hidup mengajarkan kamu untuk memaksakan setiap cara, juga kemungkinan. Aku tak pernah menyalahkan kamu demi alasan semacam itu. Sunggguh, aku sangat bermaklum diri.”
Tak bisakah kamu seperti aku. Mempertahankan apa yang kita rasakan?
“Aku mempertahankan apa yang sebaiknya aku pertahankan. Dan itu telah berlalu sejak kepergianmu waktu itu. Lagi pula, aku tak pernah mengemis apa pun pada siapa pun. Sebab beginilah aku adanya, menerima apa yang berhak aku terima. Dan melepaskan apa yang tak berhak aku pertahankan.”
Kamu pengecut. Kamu tak punya keberanian untuk menentang kenyataan, tuduhnya dengan keras.
Aku menghela nafas. Sekadar menghembuskan keriuhan yang menumpuk di dadaku. Sungguh, betapa aku mencoba memaparkan setiap penjelasan dengan bijak dan seksama. Namun, ketika logika dikalahkan prasangka, maka tak pernah ada penafsiran yang sama. Aku dan dirinya selalu bersimpang pemikiran.
“Sebaliknya,” lanjutku kembali, “aku belajar meneguhkan hati dan mengalahkan setiap ketakutan untuk tetap bersikukuh pada apa yang telah aku yakini. Ketahuilah, aku telah banyak mencoba dan itu sudah cukup bagiku. Aku harus memamah setiap kekhawatiran dan mengingkari kenyataan bahwa aku masih mengasihimu. Dan jalan hidup mengharuskan kita untuk tak lagi memaksakan perasaan. Lagi pula, siapa yang mampu menolak kenyataan, pun tidak untukmu. Kita telah sama-sama tahu itu.”
Tapi ini bukan hal yang kuinginkan. Aku terperangkap. Dan hidup —entah bagaimana caranya— telah memaksaku untuk tak bisa mengelak dari keharusan yang menyebalkan ini.
“Aku paham. Itulah sebabnya aku mencoba untuk selalu terbuka memaafkan setiap kesalahan di masa lalumu. Dan menerimamu untuk bersama walau sesaat, sebelum kau benar-benar pergi. Karena itu, seharusnya kita tak perlu memperdebatkan semuanya. Kita telah cukup lelah dengan itu semua. Kini, sandarkan bebanmu padaku. Aku tahu, kamu begitu penat setelah banyak bergulat dengan keharusan hidup. Menepilah di sini, dalam pelukanku. Ada secangkir kasih yang hangat untukmu.”
Sejenak gundahnya mereda. Aku tak bisa meneruskan persengketaan ini. Semacam lorong-lorong gelap tak bertepi. Di mana hanya kebuntuan yang akan kutemui setelahnya. Mungkin rayuan semacam itu bisa menghilangkan resahnya walau sesaat. Ia pun tersadar sejenak. Kemudian mengibaskan butiran mutiara yang telah mulai berderai dari tatapnya. Perlahan ia sandarkan tubuhnya dalam dekapku. Dan kembali menatap kerlip bintang di lautan malam.
Ah, aku menyesali masa lalu. Kini aku merasa begitu bodoh hingga pernah meninggalkan orang yang begitu kucintai.
“Tak perlu menyesal. Karena kini kita masih bisa bersama. Lupakan apa yang telah dan seharusnya terjadi. Segalanya telah berlalu dan menjadi pelajaran bagi kita. Kini, nikmatilah waktu yang tersisa. Kita curahkan dengan kenangan indah dan ingatan-ingatan yang tak akan terlupakan.”
Aku khawatir kau akan pergi dariku? katanya kembali.
“Tidak, aku akan tetap ada di sini. Mungkin untuk terus mengenangmu. Karena hidup juga menyisakan banyak ingatan yang tak terlupakan. Tapi kita terlarang untuk terus tenggelam di dalamnya. Karena bayang-bayang masa lalu ialah semacam lorong-lorong labirin tak berujung. Sungguh teramat menyesatkan. Sebaliknya, mungkin aku juga perlu untuk memulai hidup baru. Lepas dari jerat rutinitas satu, untuk kemudian terperangkap ke lain rutinitas. Bukankah hidup harus terus dijalani. Dan kita masih punya impian, bukan? Ada banyak cara untuk mewujudkannya. Walau hidup selalu memberikan berbagai macam kemungkinan yang tak terduga. Dan kita akan selalu kalah bila bertaruh tentang apa yang akan terjadi. Tapi setiap kemungkinan menyimpan harapan, pengalaman, dan pelajaran baru tentang hidup itu sendiri.”
Lalu, setelah ini kau akan bersama siapa?
“Jangan khawatir, masih ada banyak orang yang berharap dan menungggu. Aku tidak akan kesepian tanpamu. Tapi tidak dalam waktu dekat, karena untuk saat ini aku harus banyak menenangkan diri. Berbenah dengan perasaan dan pikiran yang telah lama tak beraturan. Tetap doakan aku untuk bahagia, sebagaimana juga aku selalu mendoakanmu.”
Tapi aku tetap tak ingin kita berpisah. Tuh kan, akhirnya aku selalu merasa kalah. Dan kamu selalu membuat aku merasa semakin kalah. Kenapa sih, apa yang aku ingini ngak pernah bisa terjadi, untuk sekali ini saja.
Lembaran kaca kembali berlinang dalam tatapnya.
“Pandailah bersyukur. Mengapa kita selalu lupa dengan semua yang telah diberikan hidup untuk kita, tapi tak pernah lupa segala yang tidak diberikan hidup untuk kita. Aku tahu, telah banyak pedih yang kamu jalani hingga kamu seperti sekarang ini. Ada banyak cobaan, aral, dan rintang. Tentu itu menyakitkan. Puncak tinggi tak berjalan landai, tapi keras dan terjal. Keindahan menanti dipuncaknya. Dan lihatlah sekarang. Telah lahir sesosok yang baru, seseorang perempuan yang setegar karang. Tak perduli walau onak dan duri tertancap di hatinya. Bahkan mampu menahan badai dan hujan sekalipun. Seorang perempuan yang juga memiliki kepercayaan diri setinggi langit dengan semangat berjuang dan pantang menyerah yang selalu berkobar di hatinya? Dan lihatlah pula segala yang telah kau raih dari penderitaan dan kerja kerasmu selama ini. Kamu tentu tidak lupa mensyukuri itu, bukan? Karena telah banyak bukti bahwa kau berhasil melewati semuanya. Kini, tentu kau tak ingin persoalan remeh semacam ini mampu membuatmu kembali porak poranda. Ayolah, mulai kini, bangkitlah! Hapus kesedihan itu dari air matamu.”
Kuhapus lembayung airmata yang kembali mengalir di pipinya. Sendu. Ia semakin terisak. Aku selalu tak cukup memiliki kekuatan untuk menghadapi kesedihan perempuan yang aku kasihi. Walau bagaimanapun, pernah suatu kali aku larut dalam kesyahduan tatap matanya. Digenggamnya kemudian usapan tanganku. Ditujukannya tatap matanya yang berkaca-kaca itu padaku. Lekat-lekat. Ada sesuatu yang mengalir lambat-lambat. Menyelimuti suasana yang semakin muram dan dingin. Kesedihan itu tak mampu ditahannya lebih lama, dipacu oleh semacam kehendak untuk kembali bersandar pada harapan dan kasihnya selama ini. Maka dipeluknya tubuhku erat, melepaskan tangis dan sembilu yang bergulung di dadanya. Siapakah aku bila mengelak dari curahan cinta semacam ini. Kuusap pula tebar rambutnya. Mengalirkan kemesraan yang menghunjam. Dan di sela-sela ratapnya, ia berbisik lirih.
Maafkan aku. Aku akan tetap mencintaimu seperti matahari yang selalu menyinari bumi.
Dan sejak itu, waktu menelannya ke sebuah tempat tak bernama. Kami beranjak untuk saling melenyapkan diri. Memamah takdir hidup yang senantiasa tak terduga. Namun, di setiap musim, setiap aku memandang langit, di mana bintang-bintang bertahta dengan sempurna, ia serasa selalu hadir di suatu tempat, entah di mana. Mengukir kenangan, juga cinta yang mengendap. Dan di setiap menjelang fajar, kusaksikan ia bangkit dari peraduannya yang entah. Mengalirkan cinta yang bersinar hangat. Sebagaimana yang telah diucapkannya terakhir kali, sebelum ia melenyapkan diri.
Bandung, 170806
17 August 2006
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment