18 November 2006

KEKASIH TEPI LAUT


Hampir genap tiga belas tahun sejak perjumpaan terakhir kita di tepi lautmu. Dan aku masih saja tak dapat melupakannya. Seakan kerak lumut yang menyatu lekat di setiap dinding ingatan. Mungkin karena waktu terus mengirimkannya diam-diam di setiap sarapan pagiku. Masih selalu kuingat betapa tepian laut menjadi tempat terindah bagiku. Ada semilir lembut angin dan cakrawala senja yang menghampar kala itu. Kau tanggalkan pakaian yang kau kenakan hingga aku bisa menatap lekat punggungmu yang lapang. Lalu kau hantarkan tubuhmu ke dalam lambaian arus yang berkibar. Tak pernah sedikit pun rasa takut menghinggapimu saat kau berkejaran dengan gelombang. Kau selami lubuk-lubuk samudra untuk kemudian mencuri sebutir mutiara bercahaya di dasarnya. “Kupersembahkan hanya untukmu, Sang Permaisuriku”, ujarmu. Itu kau lakukan setiap kali kepergianmu menuju laut. Aku tersentuh, sungguh. Dan kelak, telah kurangkai mutiara-mutiara pemberianmu itu menjadi seuntai perhiasan yang paling berkilau.

Tak pernah ada yang mampu menyelami kedalaman laut lebih lama darimu. Itu selalu membuatku bertanya-tanya. Kadang aku menerka seadanya bahwa kau bukanlah lelaki biasa. Putri duyung melahirkanmu sebagai akibat hasil perselingkuhannya dengan bangsa manusia. Itulah sebab mengapa kau mampu berlama-lama menghirup nafas di dasar samudra. Tentu saja kau pun terbahak mendengarnya. “Aku tak semistis itu, manis. Kemarilah, akan kutunjukan padamu segala rahasia menaklukan keganasan samudra,” katamu di sela-sela tawa. Lalu kau bawa aku menuju pesisir, jalannya terjal penuh liku dan berbatu. Hingga kemudian kita tiba di sebuah ruang besar menganga dengan lorong panjang dan gelap. Di sanalah kau tunjukan padaku, mantra-mantra leluhur yang terpahat halus di dinding-dinding goa. Pemberian para dewa bagi leluhur para lelaki yang mendiami goa-goa di pesisir laut. Mantra-mantra rahasia yang membuat mereka mampu menyelami samudra hingga ke dasarnya. Menjadikan mereka lelaki tangguh pencari mutiara, juga penakluk wanita. Dan kini, aku terjerat dalam sebuah kisah cinta dengan salah satu pewarisnya.

“Laut adalah rumahku yang pertama dan kedalaman goa-goa ialah ruang singgahku yang kedua,” demikian katamu selalu. Dan di sanalah tempat-tempat dimana aku kemudian biasa menemuimu. Mencuri-curi kesempatan yang tersisa, sebab aku ialah seorang putri yang terpenjara. Kedua orang tuaku tak akan pernah mengijinkanku untuk bersama laki-laki laut sepertimu. Bahkan untuk sekadar mengenangmu. Tapi bukankah cinta selalu memiliki jalannya sendiri. Dan kita terus mencoba bersetia karenanya. Kau ajari aku untuk bersembunyi dari setiap pandangan. Kau tunjukan padaku lorong-lorong peninggalan leluhur yang tak seorangpun mengetahuinya. Kau bawa aku menuju kegelapan goa-goa yang tak terjamah. Kita pahat kebahagiaan kita di sana. Dengan gaung mantra-mantra leluhur yang kau ucapkan di setiap menjelang purnama. Tak pernah kurasakan getar-getar kekaguman petualangan ini dengan laki-laki selainmu. Membawaku pada rasa mistis yang tak mampu kuungkapkan.

Aku tak pernah memahami hidup sebagaimana kau memaknainya, tapi aku tahu betapa kau membenci setiap kenyataan yang tak memihak. Itulah saat dimana sebuah petaka muncul dengan tiba-tiba. Dan hidup mengharuskanku terenggut dari hadapanmu. Aku tak pernah mengerti bagaimana semua ini bisa terjadi. Seakan tanah yang kita pijak terbelah seketika. Meninggalkan jarak membentang tak berujung. Menghempaskan kita dalam ketiadaan yang hampa. Aku terbelenggu dengan sebuah keterpaksaan untuk memuaskan setiap keinginan kedua orangtuaku. Sebuah sangkar emas telah dipersiapkan untukku. Membuat hidup seketika tampak gelap dan suram. Menengelamkanku dalam lumpur kepedihan yang berkobar. Sejak itu, hari demi hariku kehilangan jawaban untuk segala keinginan, pun untuk setiap alasan.

Selepas perpisahan kita, hidupku serupa perahu rapuh terhempas ombak dan badai bertahun-tahun. Dengan harap yang tak kunjung berlabuh. Sesekali segenap rasa keputusasaan menyusup dalam nadiku. Membuatku seketika ingin mengakhiri hidup bagaimanapun caranya. Tapi seketika itu pula bayang-bayangmu selalu muncul dengan aroma laut yang pekat, diiringi lirihnya senandung mantra-mantra leluhur. Membuatku kembali terhanyut dalam pusaran masa silam, dimana setiap detik waktu pernah kita lewati bersama dalam kebahagiaan yang sempurna. Meresapkan ribuan getaran lembut ke lubuk terdalam jiwaku. Aku tak pernah bisa memahami, kadang beberapa hal yang mustahil ternyata bisa pula terjadi. Sejak itu, harapku kembali bangkit seiring lekatnya ingatan tentangmu. Kudendangkan pula mantra-mantra yang biasa kau ucapkan menjelang purnama. Berandai-andai setiap mantra yang kulantunkan bisa sampai ke tepi lautmu. Dan embusan angin membisikan setiap helai pesan rinduku padamu. Hingga gelombang pun menghantarkanmu padaku tiba-tiba. Melepaskanku dari jerat yang menyiksa.

Duhai kekasih, kepadaku kau telah menularkan semacam penyakit aneh yang tak mampu terdiagnosa seribu tabib. Tak pernah ada yang mampu mengerti, pun untuk diriku sendiri. Sungguh, sejak perpisahan itu, aku menyimpan sejenis kepura-puraan yang sublim selama bertahun-tahun. Dengan angan-angan liar yang memamah batinku untuk terus berharap dapat menemukanmu di setiap tatap mataku. Seringkali aku berharap sosokmu merapuh menjadi serpihan debu dan dihantarkan angin untuk kemudian datang menemuiku. Bila tidak, aku akan membayangkan sosokmu mengerdil menjadi benih yang dihantarkan burung-burung untuk kemudian terjatuh di hadapanku, tumbuh menjelma pohon keabadian yang rindang untuk menghiasi tamanku yang begitu sunyi tanpamu. Kadang kala, aku membayangkan dirimu sebagai ikan-ikan kecil yang terseret arus, dan sungai-sungai menghanyutkanmu ke pelukanku tiba-tiba. Sungguh, aku tak mengerti, betapa aku begitu seringnya membayangkan hal-hal semacam itu. Apakah kau bisa memahaminya, kekasih?


bersambung .....

Love my face


MAWAR PUTIH

Sore itu di sebuah toko bunga, Mawar Putih tampak begitu murung, tak seperti biasanya dimana ia akan tampak selalu ceria dan bahagia. Teman-temannya sesama bunga bertanya-tanya. Apakah gerangan yang terjadi dengannya sehingga ia tampak murung hari ini?

“Apakah karena si penjual bunga lupa tak menyiraminya atau memberinya pupuk hari ini?” tanya Anggrek pada bunga-bunga lain.
“Tidak mungkin. Aku merasa si penjual bunga tak sebodoh itu hingga melupakan Mawar Putih. Ia salah satu bunga kesayangan,” jawab Kacapiring.
“Mungkin karena tak ada pembeli yang menyukainya,” ujar Melati kemudian.
“Mustahil! Setiap pembeli yang datang selalu mengagumi bunga mawar. Setiap pembeli selalu punya keinginan untuk membawanya ke rumah mereka sehingga bisa menikmati keindahan dan semerbak harumnya. Tapi si penjual bunga tak pernah berkehendak menjualnya, karena ia salah satu bunga terindah di toko ini, dan si penjual bunga menjadikannya salah satu koleksi kesayangannya. Dan kurasa Mawar Putih pun menyukainya. Ia masih senang tinggal di sini, dirawat oleh si penjual bunga. Sebab ia khawatir jika orang lain tak akan sebaik itu dalam merawatnya,” kata Teratai menimpali.
“Lalu, mengapa ia kini bersedih?” tanya Anggek lagi.
“Entahlah. Hari ini, sepertinya ia punya banyak alasan untuk bersedih,” jawab Teratai.
“Tentu keindahan bunga-bunga di toko ini tak akan bersinar dengan murungnya Mawar Putih. Mungkin kita harus turut peduli dengan menghiburnya,” usul Melati.
“Aku sependapat. Mari kita dekati Mawar Putih, kita hibur dia untuk mengusir kemurungan darinya,” ujar Kacapiring.
“Baiklah.”

Maka mendekatlah bunga-bunga itu ke samping Mawar Putih.

“Putih, mari kita menari,” ujar Anggrek sambil menari-nari bersama bunga-bunga lainnya.
“Mari bernyanyi juga,” ajak Melati dengan menyenandungkan lagu-lagu keindahan.
“Ya, mari kita bersenang-senang,” cakap Kacapiring sembari melakukan permainan kecil yang ceria.

Mawar Putih hanya mengelengkan kelopaknya melihat tingkah laku teman-temannya itu, meskipun mereka telah mencoba untuk membelai dan menari-narik tangkainya agar ia turut serta bersenang-senang. Setelah dirasa sia-sia, akhirnya para bunga pun menyerah. Mereka hanya bisa berpandangan melihat tanggapan Mawar Putih yang tetap murung itu.

“Kalau kau tak ingin bermain, marilah kita berjalan-jalan saja. Mungkin ada pemandangan bagus yang ingin kau lihat?” selidik Kacapiring

Mawar Putih kembali menggeleng. Ia tampak benar-benar murung.

“Apakah kau marah kepada kami?” tanya Melati.

Ia kembali mengeleng.

“Apakah si penjual bunga lupa memberimu pupuk atau menyirammu?”

Si putih terus menggeleng hingga bergoyanglah seluruh tangkainya.

“Apakah kau memiliki keinginan sesuatu hari ini?”

Mendengar itu Mawar Putih mendongakkan kelopaknya, tapi kemudian ditundukkannya kembali. Teman-temannya kembali merasa heran.

“Baiklah, jika kau tak mau bersenang-senang bersama kami, tapi setidaknya ceritakanlah kepada kami, mengapa kau terus bersikap murung seperti ini?”
“Ya, katakanlah hal yang membuatmu sedih. Lihatlah keindahan taman bunga ini meredup dengan kemurunganmu itu. Tentunya kau tak ingin jika si penjual bunga merugi karena pembeli tak mau membeli bunga-bunga di toko bunga yang tak indah, bukan?”

Mawar Putih menegakkan kelopaknya sedikit. Lalu memandang sekeliling. Dan dirasanya benar kata-kata temannya. Tampak olehnya bahwa suasana toko bunga itu lebih muram dari biasanya. Apakah ini karena langit yang tak cerah hari ini? Maka didongakkannya kelopaknya menghadap langit. Ah, matahari begitu cerah hari ini. Tentu bukan itu penyebab muramnya toko bunga ini. Lalu, benarkah yang dikatakan temannya itu? Kemurungannyalah yang menyebabkan muramnya suasana di toko bunga hari ini. Sebegitu besarkah pengaruh kemurungannya sehingga suasana pun tampak turut muram. Dan ia pun tahu, jika suasana di toko bunga ini begitu muram, tentunya tak akan ada pembeli yang tertarik untuk membeli bunga di toko ini.

Keindahan bunga akan terpancar dan bersinar dari toko ini jika suasana bunga-bunga yang ada di dalamnya begitu ceria. Keindahan dan keceriaan itu akan menghantarkan pula semerbak wewangian bunga ke segenap mata angin. Dengan keindahan bunga-bungaan dengan semerbaknya itu, maka akan banyak pembeli yang tertarik karena para pembeli hanya ingin membeli bunga-bunga di toko bunga yang indah dengan penuh semerbak wawangian bunga. Sebaliknya, mereka tak ingin membeli bunga di toko bunga yang muram dan tanpa wewangian bunga. Jika suasana muram dan tak ada pembeli yang datang, maka si penjual bunga akan merugi pula. Kemudian suasana pun tentu akan lebih muram lagi. Sebab itulah, bunga-bunga di toko ini dilarang untuk bersedih. Dan tentunya Mawar Putih tak berkehendak mengecewakan si penjual bunga dengan kesedihannya.

“Katakanlah Mawar Putih,” ujar Anggrek, “mungkin kami bisa membantu.”

Mawar Putih menatapnya sangsi.

“Tak ada yang bisa kalian lakukan,” ujarnya tiba-tiba, “aku telah patah hati. Kekasihku meninggalkanku.”

Teman-temannya terkaget. Mereka tahu hubungan cinta Mawar Putih dengan Mawar Merah. Dan baru kemarin Mawar Merah dibeli pembeli. Tapi adalah keharusan setiap bunga menyadari kodratnya sebagai bunga. Mereka haruslah merelakan siapapun yang diambil oleh para pembeli, baik itu sahabat-sahabatnya, keluarganya, maupun kekasih-kekasihnya. Tak pernah ada yang bersedih atau terluka karena itu. Sebab akan selalu tumbuh bunga-bunga baru dari tangkai-tangkai baru yang ditanam si penjual bunga. Selain itu, akan menjadi kebanggaan tersendiri jika ada bunga yang dipilih pembeli, tentunya itu disebabkan karena bunga yang terpilih itu merasa diri lebih indah dan semerbak wangi jika dibandingkan dengan yang lainnya. Lagi pula, bukankah mereka dilarang bersedih. Bahkan karena alasan apapun. Lalu, mengapa Mawar Putih merasa mesti bersedih hanya karena kepergian cintanya?

“Putih, kukira kau telah merelakannya.”
“Ya, dan tak harusnya kau murung hanya karena alasan itu.”
“Aku tahu itu. Tapi ia telah meninggalkanku jauh sebelum ada pembeli yang membawanya. Dan aku merasa itu sepenuhnya adalah kesalahanku. Maka aku pun merasa murung karena rasa bersalah itu.”
“Rasa bersalah? Apa maksudmu?”
“Ya, katakan apa yang telah kau lakukan?”

Mawar Putih terdiam. Ditatapnya teman-temannya yang balas menatapnya dengan pandangan rasa ingin tahu.

“Aku telah mengkhianatinya dengan mencintai yang lain,” ujarnya dengan nada lirih dan menunduk.

Teman-temannya menghela nafas. Dan saling berpandangan. Selama ini teman-temannya menduga bahwa hubungan Mawar Putih dan Mawar Merah begitu baik. Mawar Merah tampak begitu perhatian kepadanya. Rela berkorban dan melakukan apapun untuknya. Selalu bersama setiap saat. Dan tampak bahwa rona kebahagiaan terpancar di wajahnya. Namun, siapa sangka bila ada pihak lain yang ternyata telah membuat hati Mawar Putih tersentuh. Lalu tergoda untuk secara sembunyi-sembunyi menggantungkan harapan cintanya. Namun, Mawar Merah telah lama mengenal Mawar Putih. Dan kebohongan macam apapun tak mampu dihindari darinya. Bahkan yang paling tersembunyi sekalipun. Tapi Mawar Merah begitu baik hati dan penyabar, maka dibiarkannya Mawar Putih dengan cinta terselubungnya itu. Sementara Mawar Merah akan terus mencintainya dengan ketabahan seorang pemuja. Karena Mawar Merah yakin bahwa ia akan bisa membuktikan pada Mawar Putih bahwa cintanya merupakan yang terbaik daripada cinta milik siapa pun. Sungguh, ternyata cinta begitu berarti. Bahkan untuk para bunga sekalipun.

Namun, ada banyak hal yang tak terduga dengan cinta. Bagitu pula dengan percintaan antara para bunga. Setelah sekian lama, ternyata Mawar Putih tak juga melepaskan cinta terpendamnya. Walaupun Mawar Merah telah banyak mencoba melakukan hal-hal terbaik untuk membahagiakan Mawar Putih. Dan ketabahan sekuntum bunga tentu berbatas. Mawar Merah pun akhirnya tahu bahwa Mawar Putih bukanlah sosok yang memegang teguh kesetiaan. Mawar Merah menyadarkan diri bahwa mungkin Mawah Putih tidaklah pantas diperuntukan baginya. Maka untuk apa pula ia mempertahankan cintanya. Tentu ia tak ingin dibodohi dengan hal itu. Sementara mungkin ada banyak bunga lain yang jauh bisa lebih menghargai cinta dan pengorbanannya daripada Mawar Putih. Maka seketika itu pula ia meninggalkan Mawar Putih.


Pepatah mengatakan, seseorang akan tahu arti kehilangan jika ia telah ditinggalkan. Penyesalan selalu singgah di akhir kejadian. Dan itulah yang dirasakan Mawar Putih. Ia begitu merindukan kembali cinta Mawar Merah dengan segala perhatiannya. Tapi penyesalan dan rasa bersalah adalah sia-sia. Karena untuk keesokan harinya, Mawar Merah telah pergi. Parasnya yang tampan menarik hati seorang perempuan berparas jelita yang akhir-akhir ini sering datang ke toko bunga itu. Demikianlah, akhirnya Mawar Putih menceritakan semua itu pada teman-temannya. Para bunga tersentuh pula mendengar ceritanya. Sebagian dari mereka merasa iba dengan nasib Mawar Merah yang terkhianati. Sebagian lagi merasa prihatin dengan Mawar Putih karena cinta tentu tak bisa dipaksakan. Dan Mawar Putih tak bisa disalahkan hanya karena cinta dan perasaan. Cinta yang dirasa Mawar Putih tentu bolehlah menentukan pilihannya sendiri. Namun dalam benak mereka tersimpan segenap tanya. Siapakah pihak lain yang telah membuat hati Mawar Putih terpikat? Apakah ada bunga lain yang dirasa lebih pantas untuk Mawar Putih? Ataukah bunga lain di toko seberang? Mereka hanya bisa menerka, kepastiannya hanya tersimpan di hati Mawar Putih.


Bersambung ....

MALING



Waktu menunjukan jam 2.30 ketika teriakan Ceu Yayat memecah malam yang sunyi. Saat itu, aku tengah terdampar dalam sebuah mimpi absurd. Tentang sosok bercahaya dengan dua buah sayap yang membentang di punggungnya bagai malaikat yang membawaku ke suatu taman indah dengan suasana yang damai dan menenangkan. Sudah lama aku tidak mengalami mimpi seindah ini karena persoalan-persoalan kantor sepertinya telah banyak mengacaukan pikiranku untuk dapat sekadar bermimpi. Akan tetapi, kali ini pun mimpi indahku harus tertunda untuk waktu yang lain karena tidurku tiba-tiba harus terhempas oleh sebuah kegaduhan.

“Maling……..Maling……Maling…!” teriak Ceu Yayat dengan kerasnya.

Aku pun tersentak mendengar teriakan itu. Tanpa pikir panjang lagi langsung menghambur keluar rumah walau saat itu hanya bermodalkan baju dalam dan celana kolor yang sudah tak jelas lagi bentuknya. Kulihat sekelebat Mang Udin, Abah Yana, Jono, dan beberapa orang langsung berlari.

“Kejar….”
“Ke arah sana”
“Bukan. Larinya tadi ke arah Utara.”
“Ayo, cepat sebelum jauh.”
“Tangkap…..”
“Kalau ketemu langsung sikat.”

Akhirnya, aku hanya bisa mengikuti arah mereka berlari. Dengan harapan agar bisa mengejar dan menangkap maling itu. Tetapi, siapa sangka jika maling itu ternyata lebih lihai dari kami. Hanya selang beberapa detik, ia telah lenyap seperti ditelan bumi. Beberapa orang mencoba mencari-cari. Semak-semak, pekarangan rumah, lorong-lorong, got, hingga tempat sampah pun telah kami jelajahi, namun hasilnya sia-sia.

“Tadi larinya ke sini kok” ujar Mang Udin dengan nafas terputus-putus.
“Ya, aku lihat. Bangsat itu memakai baju merah.” kata Abah Yana.
“Sepertinya maling itu punya Ajian Halimun yang bisa menghilang” seru Jono menimpali.

Setelah beberapa menit mencari, kami putus asa dan kembali dengan tangan hampa. Maling itu tidak kami temukan. Ceu Yayat masih terlihat gelisah di depan rumahnya. Ibu-ibu tetangga terlihat berkerumun di sekitarnya. Sementara istriku tampak hanya memperhatikan di depan puntu rumah. Sekilas ia memandangku dengan was-was.

“Tadi itu saya terjaga untuk buang air kecil, tapi ketika hendak melewati pintu kamar mandi. Saya mendengar bunyi aneh di pintu depan. Saya tengok sebentar dari jendela samping. Ternyata ada seseorang yang berpakaian hitam dengan tutup kepala ala ninja sedang mencoba mencongkel pintu. Saya kaget, lalu langsung saja teriak maling,” ucap Ceu Yayat pada Ibu-ibu tetangga yang mengerumuniya.

Ini sudah yang ke sekian kalinya kompleks perumahan kami digerayangi maling. Sebulan yang lalu sepeda Si Budi, putra Ceu Nani, yang kena sikat. Dua Minggu kemudian, sandal baruku digondolnya. Tiga hari yang lalu televisi Teh Dewi lenyap. Bahkan, pakaian Ustad Tarman yang masih basah dijemur dibelakang mushola pun tak luput dari aksinya. Sementara kini, giliran Ceu Yayat yang kena sasaran, walau maling itu belum sempat berbuat apa-apa.

“Ini tidak bisa dibiarkan terus menerus terjadi.”
“Ya, perbuatan pencurian itu harus dihentikan secepat mungkin.”
“Kita harus adakan musyawarah untuk menentukan cara apa yang paling efektif menangkap maling itu.”
“Setuju….”

Akhirnya, beberapa hari kemudian diadakanlah semacam musyawarah di rumah Pak RW untuk membahas pengamanan kompleks kami agar tidak terjadi lagi berbagai tindak pencurian yang telah meresahkan kami itu. Musyawah itu berjalan cukup alot dan tegang. Namun, Pak RW cukup bijaksana untuk menengahi perdebatan yang terjadi. Semua usul dan saran ditampung. Kemudian dicari penyelesaian yang terbaik untuk mengantisipasi tindak pencurian yang meresahkan warga selama ini. Keputusan pun diperoleh. Pak RW mengumumkan hasil keputusan itu.

“Baik saudara-saudara, mohon perhatiannya sebentar. Setelah melalui pembicaan panjang, berbelit-belit, alot, dan menengangkan. Akhirnya telah diputuskan bahwa untuk menangulangi aksi pencurian yang selama ini sangat meresahkan seluruh kompleks kita yang tercinta ini, maka telah dirumuskan sebagai berikut: mengingat….bla…bla…bla…, menimbang….bla…bla…bla…akhirnya memutuskan bahwa warga kompleks Sukasenang RT 01 RW 04, harus bahu membahu menjaga keamanan kompleks kita ini dengan mengadakan ronda setiap malamnya. Kita kerahkan seluruh lapisan dan elemen masyarakat. Dalam hal ini, yaitu warga kompleks Sukasenang RT 01 RW 04, dari mulai ibu-ibu, bapak-bapak, nenek-nenek, kakek-kakek, anak-anak, laki-laki, perempuan, atau banci sekalipun. Bila perlu, kita juga akan meminta bantuan aparat yang berwajib atau warga kompleks lain atau siapapun yang bersedia membantu masalah pencurian yang sangat meresahkan ini. Tertanda ketua kompleks Sukasenang RT 01 RW 04 melalui musyawarah mufakat. Bagaimana saudara-saudara sekalian? Apakah saudara-saudara sekalian sepakat atas hasil musyawarah ini?"

“Setujuuuuuuuuuu,” warga serempak menimpali.

Keputusan hasil musyawarah itu pun dilaksanakan dengan sebaik mungkin. Para warga bergantian berjaga-jaga setiap malamnya. Aku sebagai warga kompleks ini sempat beberapa kali kebagian jatah ronda. Setelah beberapa minggu tanpa terjadi apapun, warga mulai merasa aman. Pengamanan yang dilakukan dirasa telah sangat efektif. Tidak ada lagi ada aksi pencurian sekecil apapun. Maling itu seakan tahu bahwa sebuah operasi pencegahan terhadap tindak kejahatan pencurian sedang dilakukan di lingkungan kompleks kami. Lambat laun suasana itu membuat warga semakin lengah. Pengamanan pun semakin longgar. Itulah saat beberapa hari kemudian kasus pencurian seperti sebelumnya terjadi kembali. Tidak tanggung-tanggung, sepeda motor Guru Dudi diangkut tanpa ampun oleh sang pencuri. Warga pun kembali menjerit akan ketidakamanan lingkungannya.


Bersambung .....

Look to cam