18 November 2006

MALING



Waktu menunjukan jam 2.30 ketika teriakan Ceu Yayat memecah malam yang sunyi. Saat itu, aku tengah terdampar dalam sebuah mimpi absurd. Tentang sosok bercahaya dengan dua buah sayap yang membentang di punggungnya bagai malaikat yang membawaku ke suatu taman indah dengan suasana yang damai dan menenangkan. Sudah lama aku tidak mengalami mimpi seindah ini karena persoalan-persoalan kantor sepertinya telah banyak mengacaukan pikiranku untuk dapat sekadar bermimpi. Akan tetapi, kali ini pun mimpi indahku harus tertunda untuk waktu yang lain karena tidurku tiba-tiba harus terhempas oleh sebuah kegaduhan.

“Maling……..Maling……Maling…!” teriak Ceu Yayat dengan kerasnya.

Aku pun tersentak mendengar teriakan itu. Tanpa pikir panjang lagi langsung menghambur keluar rumah walau saat itu hanya bermodalkan baju dalam dan celana kolor yang sudah tak jelas lagi bentuknya. Kulihat sekelebat Mang Udin, Abah Yana, Jono, dan beberapa orang langsung berlari.

“Kejar….”
“Ke arah sana”
“Bukan. Larinya tadi ke arah Utara.”
“Ayo, cepat sebelum jauh.”
“Tangkap…..”
“Kalau ketemu langsung sikat.”

Akhirnya, aku hanya bisa mengikuti arah mereka berlari. Dengan harapan agar bisa mengejar dan menangkap maling itu. Tetapi, siapa sangka jika maling itu ternyata lebih lihai dari kami. Hanya selang beberapa detik, ia telah lenyap seperti ditelan bumi. Beberapa orang mencoba mencari-cari. Semak-semak, pekarangan rumah, lorong-lorong, got, hingga tempat sampah pun telah kami jelajahi, namun hasilnya sia-sia.

“Tadi larinya ke sini kok” ujar Mang Udin dengan nafas terputus-putus.
“Ya, aku lihat. Bangsat itu memakai baju merah.” kata Abah Yana.
“Sepertinya maling itu punya Ajian Halimun yang bisa menghilang” seru Jono menimpali.

Setelah beberapa menit mencari, kami putus asa dan kembali dengan tangan hampa. Maling itu tidak kami temukan. Ceu Yayat masih terlihat gelisah di depan rumahnya. Ibu-ibu tetangga terlihat berkerumun di sekitarnya. Sementara istriku tampak hanya memperhatikan di depan puntu rumah. Sekilas ia memandangku dengan was-was.

“Tadi itu saya terjaga untuk buang air kecil, tapi ketika hendak melewati pintu kamar mandi. Saya mendengar bunyi aneh di pintu depan. Saya tengok sebentar dari jendela samping. Ternyata ada seseorang yang berpakaian hitam dengan tutup kepala ala ninja sedang mencoba mencongkel pintu. Saya kaget, lalu langsung saja teriak maling,” ucap Ceu Yayat pada Ibu-ibu tetangga yang mengerumuniya.

Ini sudah yang ke sekian kalinya kompleks perumahan kami digerayangi maling. Sebulan yang lalu sepeda Si Budi, putra Ceu Nani, yang kena sikat. Dua Minggu kemudian, sandal baruku digondolnya. Tiga hari yang lalu televisi Teh Dewi lenyap. Bahkan, pakaian Ustad Tarman yang masih basah dijemur dibelakang mushola pun tak luput dari aksinya. Sementara kini, giliran Ceu Yayat yang kena sasaran, walau maling itu belum sempat berbuat apa-apa.

“Ini tidak bisa dibiarkan terus menerus terjadi.”
“Ya, perbuatan pencurian itu harus dihentikan secepat mungkin.”
“Kita harus adakan musyawarah untuk menentukan cara apa yang paling efektif menangkap maling itu.”
“Setuju….”

Akhirnya, beberapa hari kemudian diadakanlah semacam musyawarah di rumah Pak RW untuk membahas pengamanan kompleks kami agar tidak terjadi lagi berbagai tindak pencurian yang telah meresahkan kami itu. Musyawah itu berjalan cukup alot dan tegang. Namun, Pak RW cukup bijaksana untuk menengahi perdebatan yang terjadi. Semua usul dan saran ditampung. Kemudian dicari penyelesaian yang terbaik untuk mengantisipasi tindak pencurian yang meresahkan warga selama ini. Keputusan pun diperoleh. Pak RW mengumumkan hasil keputusan itu.

“Baik saudara-saudara, mohon perhatiannya sebentar. Setelah melalui pembicaan panjang, berbelit-belit, alot, dan menengangkan. Akhirnya telah diputuskan bahwa untuk menangulangi aksi pencurian yang selama ini sangat meresahkan seluruh kompleks kita yang tercinta ini, maka telah dirumuskan sebagai berikut: mengingat….bla…bla…bla…, menimbang….bla…bla…bla…akhirnya memutuskan bahwa warga kompleks Sukasenang RT 01 RW 04, harus bahu membahu menjaga keamanan kompleks kita ini dengan mengadakan ronda setiap malamnya. Kita kerahkan seluruh lapisan dan elemen masyarakat. Dalam hal ini, yaitu warga kompleks Sukasenang RT 01 RW 04, dari mulai ibu-ibu, bapak-bapak, nenek-nenek, kakek-kakek, anak-anak, laki-laki, perempuan, atau banci sekalipun. Bila perlu, kita juga akan meminta bantuan aparat yang berwajib atau warga kompleks lain atau siapapun yang bersedia membantu masalah pencurian yang sangat meresahkan ini. Tertanda ketua kompleks Sukasenang RT 01 RW 04 melalui musyawarah mufakat. Bagaimana saudara-saudara sekalian? Apakah saudara-saudara sekalian sepakat atas hasil musyawarah ini?"

“Setujuuuuuuuuuu,” warga serempak menimpali.

Keputusan hasil musyawarah itu pun dilaksanakan dengan sebaik mungkin. Para warga bergantian berjaga-jaga setiap malamnya. Aku sebagai warga kompleks ini sempat beberapa kali kebagian jatah ronda. Setelah beberapa minggu tanpa terjadi apapun, warga mulai merasa aman. Pengamanan yang dilakukan dirasa telah sangat efektif. Tidak ada lagi ada aksi pencurian sekecil apapun. Maling itu seakan tahu bahwa sebuah operasi pencegahan terhadap tindak kejahatan pencurian sedang dilakukan di lingkungan kompleks kami. Lambat laun suasana itu membuat warga semakin lengah. Pengamanan pun semakin longgar. Itulah saat beberapa hari kemudian kasus pencurian seperti sebelumnya terjadi kembali. Tidak tanggung-tanggung, sepeda motor Guru Dudi diangkut tanpa ampun oleh sang pencuri. Warga pun kembali menjerit akan ketidakamanan lingkungannya.


Bersambung .....

No comments: