27 March 2008

Perseteruan Harimau

Aku ingat waktu itu. Di depanku seorang lelaki bermata pisau. Seorang lelaki yang memiliki pandangan langit. Begitulah orang-orang sekitar menyebutnya. Nafasnya memburu dan tubuh bergetar. Lambat-lambat disentuhnya telapak tangganku. "Kau memiliki garis hidup para pejuang," ujarnya dengan suara lirih. Aku tak pernah yakin. Selama hidup tak pernah berniat bercengkrama dengan pertarungan. Bukan sebagai pengecut. Beralasan karena perseteruan tak akan menghasilkan apa-apa selain kebencian dan penyesalan. Setidaknya itulah selalu yang dipetuahkan ayahku dulu kala. Sejak itu aku selalu menyingkir. Tersingkir bukan berarti kalah, tapi tersingkir untuk menang.

Namun di sinilah aku sekarang. Menghadapi lelaki dengan dada bergambar harimau. Logam berkilat tajam digenggamnya erat. Ini adalah pertarungan kesepuluh. Aku tak hirau lagi dengan banyaknya babak, juga kematian. Nafsu membunuh telah merasuk sejak Laila, putri semata wayangku itu, terpenggal dihadapku. Terbukti manusia tak pernah lagi menghargai sesamanya. Nyawa hanya onggokan sampah kotor terbuang.

Lelaki itu tertawa. Merasa menang sebelum pertarungan. Bel pertanda mulai berdentang. Sekerdip mata ia menerkam. Para penonton bersorak menyemangati untuk sesegera membunuh. Tubuhku memang setipis jarum, tapi aku tak rela meregang nyawa di tangan iblis busuk. Setidaknya bukan untuk sekarang, di tempat ini. Hampir sejengkal sabetan senjatanya menebas tubuhku. Kugerakan tubuh ke samping. Di sela-sela itu kugerakan kakiku menjangkau dadanya. Suara gebukan disertai lenguhan mengaduh pun terdengar. Tendanganku itu telak bersarang di tubuhnya. Sang lelaki harimau terhuyung beberapa langkah. Tak pernah menyangka lelaki seramping aku mampu menggetarkan kekokohan tubuhnya. Matanya kini lebih berkilat memerah pertanda amarah telah memuncak hebat. Bersiap untuk kembali menerjang.


bersambung ........