28 July 2006

Sajak-Sajak Seuntai Musim

Di matamu

Aku telah melihat seribu macam peristiwa
di matamu, dan hanya perlu satu macam cara lagi
Untuk menuai setiap keinginan
Tapi akulah laki-laki pemurung itu,
Yang terlalu sulit menentukan peta arah dan tujuan
Hingga membuat senja terlampau cepat terbenam
di lautan tatapmu. Tapi aku merasa itu tak lebih penting
dari sebuah mimpi, sebagaimana rasa terimakasihku
padamu selama ini.

Bandung, 030705


Memorabilia

Sejauh langit berlabuh
Setiap ingatan memiliki jalan pulang
Di mana ia akan selalu terbenam
Sebab begitu pulalah dengan tatapmu

Dan akulah yang paling memahami arti penantian.
Lalu kau akan senantiasa menoleh
Padahal setiap kejadian telah diketahui
Dan tak ada takdir untuk kita

Tapi biarkanlah setiap musim bergulir
Lalu malam mengeja keluguannya
Menanam benih yang tak berbuah
Selayaknya mimpi bulan terpenggal
Mengharap janji yang tak terbeli.

Indramayu, 5 November 2005


JARAK

Kadang aku merasa dekat
Kadang pula merasa jauh
Jauh itu dekat
Dekat itu ternyata jauh
Jauh pada yang dekat
Dekat pada yang jauh

Lalu, jarak itu berarti apa?

Bandung, 2003


INI SUATU WAKTU

Ini suatu waktu
Ketika aku menemukanmu
Melalui senja yang berjalan
Sedang aku belum menuntaskan
Kegelisahan akan sajak-sajak yang berterbangan

Ini suatu waktu
Ketika matahari tak lagi jinak
Menunduk diam-diam dari wajahmu
Dan kita telah mengakhiri kesepakatan
Untuk saling menyulam kekhawatiran

Ini suatu waktu
Ketika aku telah mabuk
Oleh jutaaan cemas, juga guguran daun-daun
Sementara senja perlahan tuntas
Dengan kecemburuaannya

10905


Musim

Telah tiba waktu-waktu sederhana
Selama musim belum beranjak bosan
Tetapi aku telanjur kehilangan senyum
Bedesir serupa kegelapan

10905


Metafor Matahari

Di matamu kalut terasa jinak
Membisikan rasa rindu yang pedas
Sedang aku tak punya banyak bumbu
Matahari telah memasak hidangan yang ketus tadi pagi
Dan berduyun lalat-lalat menyisihkan makna setiap musim

Telah aku undang pula sunyi dari balik bajumu
Tergenggam hari siang serta pura rupa
Dan tak perlu banyak waktu bagi airmata
Untuk memesan secangkir senyum
Sementara 24 kutukan menyelinap
Dalam hutan yang angkuh

Aku tak lagi mampu menawar harga kenangan
Dan wajah-wajah bengis tertawa
Memecah runcing beling-beling
gemericik suaranya mengalir riang

Aku harus meminta saran untuk menamaimu
Dalam sisa kericuhan hari esok
Tapi hujan terlanjur mencerna mimpi
Di sudut-sudut kota yang murung

Mari, berlindunglah dalam tebar rambutku
Sebab matamu belum juga masak kini

5 Maret 2006


Menunggumu

Menunggumu ialah serupa memasak hidangan malam
Aku kehilangan banyak cemas. Tertatih mengatur waktu
dan mimpi-mimpi. Hujan telah beramah tamah dengan sedih
Berbisik tentang kepulangan yang bersijingkat
Tapi hidupku penuh kegamangan
Menyelinap diam-diam di balik dinding kamar
yang masih saja meruapkan aroma tubuhmu.

Bergegaslah pulang, duhai hidangan malam, rinduku telah berkarang

040706

Sajak-Sajak Negeri Airmata

PROLOG NEGERI AIRMATA

Telah aku lihat gemuruh airmata
Pada hamparan negeri yang kini luka
Menjelma lautan ombak darah dan kematian
Langit pun bergetar mendekap kesunyian yang tiba-tiba

Doa-doa bertebaran di udara
Menghantarkan timbunan mayat terbuang
Tinggalkan hamparan puing-puing kepedihan
Juga sejarah yang semakin kelam

Telah aku lihat gemuruh airmata
Pada tepian negeri yang semakin hilang
Terkubur runtuhan langit perih
Dan kenangan yang kian menghitam

Bandung, Mei 2005


Episode Negeri Airmata 1

Lihatlah, airmata itu telah menganak sungai
Terlalu banyak derita yang ditanggung negeri ini,
Akan kemana kita melangkah sekarang
Di mana pun tak ada jalan pulang yang damai
Terbuanglah kita para pejalan yang selalu tersesat

Bandung, Mei 2005


Episode Negeri Airmata 2

Riuh kenangan yang runcing telah melukai tidurku
Kota-kota memenuhi jiwaku dengan senapan dan peluru
Jalanan sentiasa berdarah dalam kalut
Hukumlah kami, wahai angkasa
Sebab tak ada lagi cinta di mana pun

Bandung, Mei 2005


Episode Negeri Airmata 3

Biarlah kemalangan itu mengalun bersama udara
Mari kita menari dalam secawan anggur hidup
Kesenangan itu masih terlalu berlimpah, Nona
Sebab kemalangan jenis apapun tak kan mampu menikam dunia
Sudahi saja segala keluh kesah
Mari kita tertawa dan berlupa

Bandung, Mei 2005


Episode Negeri Airmata 4

Tidakkah kita sadari arti kefanaan
Persinggahan sementara, juga sia-sia
Setiap gelap pasti menyimpan terangnya
Biarkan harap itu bangkit dari dasar lautan
Mengembangkan setiap kemurungan para pendosa
Dan kita masih melihat angin bertiup menunjuk jalan

Bandung, Mei 2005


Episode Negeri Airmata 5

Ketabahan macam apa yang miliki setiap manusia
Bukankah tak ada yang mampu menghindar dari kuasaNya
Berserahlah.....
Berserahlah wahai makhluk-makluk yang diciptakan
Tak ada kekuatan bagi kita selain untuk mengabdi
Sambut hempasan luka ini dengan kepasrahan
Rindukan pertemuan dengan cintaNya

Bandung, Mei 2005


Episode Negeri Airmata 6

Kamilah jiwa-jiwa petaka
Biarlah kami menyadarkan diri dalam bencana
Mengharap pengampunanMu adalah satu-satunya jawaban
Iringkan kami pada jalan ketenangan
Hanya di sisiMu kami berserah
Dalam kepasrahan para pendosa
Di negeri berlumur airmata

Bandung, Mei, 2005


EPILOG NEGERI AIRMATA

Telah kami pasrahkan jiwa-jiwa pendosa
Biarlah malam mengabarkan segala yang patut kami terima
Tersungkur dalam sujud-sujud keheningan
Di antara lantunan harap dan doa yang masih bergema
Mengalun dalam tangis dan pedih yang menikam

Sebab hanya pada-Mu kami berpulang
Sebab hanya pada-Mu kami mengabdi
Sebab hanya pada-Mu kami berserah

Menyusun kembali asa yang terserak
Dalam kepingan sisa waktu
Dan kerinduan
Hanya pada-Mu
Ya, Rabbi ...

Bandung, Mei 2005


Nb: sajak-sajak ini terintegrasi dalam sebuah naskah pagelaran berjudul Negeri Airmata yang saya kreasikan untuk pementasan murid-murid di Bangkel Sastra SMU Pasundan 8

Mencerna Gelombang

Aku melihat kekalutan yang meloncat-loncat
di tepi mimpimu. Sebagaimana yang telah aku janjikan
ketika kau memutuskan untuk memulai perjalanan ke ujung sunyi
Karena telah aku kutuk sebagian musim untuk beranjak
dari keceriaan. Dan daun-daun mengembun bersama tetes airmata
Seperti bertahun lampau, saat pohon-pohon tak lagi bersisikukuh
untuk memulai hidup. Merapuh serupa udara senyap
Sempat pula aku berpikir bahwa perjalananmu ialah
Untuk mencerna gelombang menjadi hujan
Sebab kita belajar untuk tidak menjelma rumah-rumah
Berdiam menatap kesendirian yang akut

Nona, hidup selalu berisi kepergian yang bergegas
Menyisakan belatung-belatung di sarapan pagi kita
Dan aku terus-menerus bertaruh untuk sungai-sungai
yang mengering. Sedang kemarau tak lagi terlalu jinak
untuk mengerti. Tidurku menjelma karang. Tumbuh serupa tanah
Diam-diam melupakan petuah yang acap kali kau sandingkan
di balik malam. Aku tak punya kepercayaan melebihi nabi-nabi
Menyaksikan kau berkemas dengan rakus untuk pulang

Ya, beratus kali kita bersepakat dengan gelisah
Menanam lumut-lumut menghijau di tebing-tebing hati
Tapi gairahmu meruah membakar ketabahan setiap penyair
Tak perlu banyak waktu bagi sejarah untuk mencatat takdir
yang berulang. Dan aku telah cukup masak untuk menyulut dendam
Sebagaimana setiap dinding kamar menyimpan rahasia kejadian
Sebab penantian telah usai, mawarku.
Dan kita, ialah pengelana yang tak pernah tahu ujung jalan
Saling berseberangan.


30706

Aku dan Sendiri

Aku menatap mataku sendiri
Kutemukan rimba belukar, riuh ombak,
juga sunyi yang berdarah-darah.

Aku menghirup nafasku sendiri
Kujumpai tajam pisau, perih langit,
juga gelak airmata

Aku meraba tubuhku sendiri
Kurasakan runcing hidup, pekat malam,
juga kering kemarau

Aku menyimak suaraku sendiri
Kudengar kelakar sungai-sungai, sayatan angin,
juga tangis yang bergolak

Aku menjilat lidahku sendiri
Kukecap resah tanah, puing rumah-rumah,
juga panah-panah amarah

Aku memandang langkahku sendiri
Kulihat jejak kata-kata, kotoran usia,
juga serpihan laut senja

Aku menyelam kian menjauh
Tapi tak jua kunjung mengenal
Siapa aku kala sendiri
TanpaMu

220706

Perempuan dengan Sebuah Kutukan

Mungkinkah aku tak lagi layak untuk terus mencatat kenangan. Tumpukan peristiwa tak lagi bermakna apa-apa. Hanya sesuatu yang hinggap di sepenggal ingatan yang membeku. Mungkin telah lama pula aku merindukan sesuatu. Dinding-dinding yang membisu, malam yang mencekam, serta tiupan angin senantiasa mengantarkan sunyi dan dingin, mengiringi sisa-sisa hidup yang kian entah. Dan waktu, ternyata telah begitu lama berlalu. Namun, mengapa aku belum juga mampu mengentaskan kegelisahan ini. Memaksaku kembali untuk memilah-milah timbunan masa silam: tentangmu. Dan malam, selalu saja terus menerus mengalirkannya kepadaku tanpa suatu alasan.

Ini waktu tengah malam buta, tapi aku berani bertaruh, kau belum juga bisa terlelap. Seperti malam-malam lainnya, kau akan berada di tengah-tengah kebusukan malam, memandangi langit yang tak berbatas, bergumam dengan kata-kata yang tak biasa, dan terus mencoba menulis sajak-sajak yang tak pernah bisa kau tuntaskan. Aku berani memastikan, sekeras apapun kau mencoba, kau tetap tak akan pernah mampu. Karena pada perjumpaan terakhir kita, aku telah mengutukmu untuk tak lagi mampu mencipta sepatah kata pun untuk sajak-sajakmu itu. Tidak perlu sebuah alasan. Aku hanya ingin mencoba membantu. Lagi pula, bukankah kau tak pernah bersungguh-sungguh untuk menuntaskan sajak-sajakmu. Karena serpihan sajak, akhirnya hanya akan mengantarkanmu pada sesuatu yang sunyi. Begitu pula dengan malam ini. Malam yang begitu mengigilkan keheningan. Di mana alunan kenangan akan memaksa setiap ingatan untuk tenggelam dalam kerinduan yang menyiksa, terserak di antara langit malam. Teriringi tembang-tembang syahdu dan lirih. Pada akhirnya, kita akan tiba pada suatu masa di mana diri merasa begitu sepi, begitu sunyi.

Malam ini, seperti juga malam-malam lain selepas kepergianmu. Aku akan berdiam diri dalam kepasrahan. Detik jam masih terdengar dan menggempur sisi batinku yang terdalam. Tapi aku tak pernah lagi peduli waktu, sebagaimana juga kau. “Waktu hanya sebuah penanda sesuatu yang tak pernah menentu,” katamu saat itu. Sepotong lilin kuletakan di sudut kamar. Sekadar teman kala keheningan menyergapku. Pijar cahayanya yang berpendaran mengisi lorong-lorong kegelapan. Lain hal ketika kita masih bersama, mungkin kita akan lebih suka berada dalam gelap. Karena kelam akan membuat kita lebih tenang untuk melakukan apapun. Saat itu aku akan merasa benar-benar menjadi seorang perempuan dan kau akan merasa benar-benar menjadi seorang laki-laki. Semacam perjamuan cinta yang sempurna antarsepasang kekasih. Mula-mula kau akan mendekatkan wajahmu pada telingaku. Kau ucap sebait sajak lirih dalam senyap. Lalu kau ukir perlahan-lahan di setiap jengkal tubuhku. Ada jutaan getar yang memenuhi segenap ruang-ruang yang selama ini terlupakan. Ah, selanjutnya mungkin kau lebih tahu apa yang seharusnya terjadi. Setelahnya, kita akan saling berbagi tatap. Saling mengalirkan kemesraan yang tak pernah bisa kumaknai hanya dengan sekadar kata-kata. Mungkin, kita hanya bisa menafsirkannya dengan isyarat rasa.

Apakah malam ini akan terasa seperti malam-malam yang pernah kita lewati dulu? Sepertinya tidak. Karena malam tak pernah mampu lagi memastikan apapun. Begitu pula dengan kepulanganmu. Satu-satunya hal yang paling aku mengerti dari malam ialah kegelapan. Dan itu akan selalu mengingatkanku akan tajamnya tatap matamu. Ingatkah kau pada perjumpaan kita yang pertama. Saat itu kita bertemu dalam sebuah tempat yang tidak semestinya aku berada di sana. Sungguh, aku benar-benar hilang arah dan tidak seorang pun mau peduli. Dan tiba-tiba kau telah hadir begitu saja di hadapanku dengan tatap kedua bola matamu yang legam, berkata-kata, menyebutkan sebuah nama, menanyakan segala sesuatu -yang sebenarnya terlarang kau ketahui-, menunjukan padaku peta semua arah, lalu pergi begitu saja dengan wajah penuh kemenangan. Pertemuan yang sederhana dan ringkas, sehingga tak ada seorang pun yang mampu menerka jika akhirnya kita bisa berada pada jarak yang lebih dekat dari perkiraan siapapun. Entah, aku tak tahu harus mengucap apa ketika selanjutnya kau telah berada di depan pintu rumahku, menunggu. Kita pun kembali bertemu dan kau terlalu banyak bicara. Sedangkan aku hanya menunduk. Selalu tak kuasa menatap bola matamu itu. Dan satu-satunya kata yang mampu kuucap saat itu hanya, “Tolong jangan hujani aku dengan tatapmu”. Kau pun tersenyum. Kemudian beranjak pergi setelah mengukir sebait sajak kecil berisi pesona di relung hatiku.

Malam-malam selanjutnya kau datang. Masih dengan tatap mata itu. Namun aku kian terbiasa. Bahkan kita telah sama-sama begitu meresapinya. Kau pun lalu mengajariku tentang bagaimana menjahit pijar bintang-bintang di kedalaman tatap matamu itu dengan baris-baris sajak. Lalu menguntainya dengan mimpi-mimpi yang senantiasa hadir di tengah-tengah lamunan kita. Banyak hal yang tumbuh dengan tak terduga, begitu pula dengan cinta, ketika dengan tiba-tiba kita telah saling merasakan segala sesuatunya. Namun, tak ada yang patut disesali. Prasasti itu telah berdiri dengan kokohnya. Kita hiasi dengan pahatan kisah-kisah indah tentang pijar bintang-bintang, keharuman malam, juga legam tatap matamu.

***

Pernah juga kita bicara tentang mimpi-mimpi yang kita temui pada lelap malam. Dan kita pun saling bertukar cerita. Kau berbicara tentang mimpimu di waktu yang tak terduga bahwa kau ingin menjelma dewa. Bermukim di kaki-kaki gunung atau di sekitar pesisir pantai. Hidup bersahaja dengan hanya hal-hal yang bersifat sederhana. Tentu saja aku harus hadir di sana. Mendampingimu menghadapi segala hal yang akan datang menguji. Bercocok tanam, mengail ikan, menernak hewan, juga mencipta sajak-sajak kebahagiaan adalah keseharian kita di sana. “Mimpi yang sempurna bukan?” ucapmu berbangga diri kala itu. Aku pun hanya bisa tersenyum. Lalu kau bertanya tentang mimpiku. Ah, aku pun tersipu. Seandainya kau tahu bahwa satu-satunya mimpiku ialah bisa bersamamu dalam hitungan waktu yang tak terhingga. Namun, kita akhirnya tahu bahwa mimpi tinggalah mimpi, tak selamanya mampu kita penuhi. Mimpi hanyalah salah satu jalan pelarian bagi orang-orang yang selalu mencoba ingin lepas dari jerat realitas yang tak mampu mereka hadapi. Apakah kita termasuk ke dalamnya? Entah.

***

Tak hanya hal-hal indah yang pernah kita lewati, tapi juga kegetiran. Sesuatu yang menyadarkanku bahwa hidup ternyata tak selalu hanya berisi bahagia dan tawa, tapi kadang juga penuh luka dan airmata. Kau datang di penghujung malam. Ketika itu aku tengah benar-benar mengingatmu. Aku senang kau datang. Namun darah yang mengucur di sekujur tubuhmu membuatku sangat tersentak. Kau masih saja bisa tersenyum kala itu, walau untuk selanjutnya kau langsung terbaring tak sadarkan diri. Sementara aku larut dalam tangis kekhawatiran. Tak ada gunanya bertanya mengapa semua itu terjadi karena aku lebih tertarik untuk mencari cara tentang bagaimana pendarahan di tubuhmu bisa kuhentikan. Ada enam luka yang dalam, dua di bagian dada, tiga di punggung, dan satu di lengan kirimu. Darah pun menderas dan ada beberapa daging yang mengelupas. Kuamati dengan cermat dan aku bisa memastikannya, ini akibat senjata tajam. Aku terpaksa harus mengatasi semua itu sendiri karena kalimat terakhir yang kau ucapkan sebelum tak sadarkan diri adalah sebuah larangan untuk meminta bantuan siapapun. Dengan segenap kemampuan yang kumiliki telah kuhentikan pendarahanmu dan sedikit demi sedikit kujahit lukamu baik-baik. Airmataku mengering ketika segalanya selesai kutuntaskan. Semalaman aku mendampingimu yang tak sadarkan diri. Dan inilah waktu-waktu di mana kau tak lagi banyak bicara, tapi dari diammu itu, aku seperti lebih banyak lagi menangkap kata-kata. Samar dan berpendaran serupa permukaan air telaga. Lelah dan khawatir membuatku terlelap. Entah berapa lama aku tertidur, hingga kusadari kau telah pergi dengan meninggalkan sebuah pesan tertulis berisi dua buah kata: terima kasih. Tak ada penjelasan atau apapun lagi. Kau adalah laki-laki tangguh yang selalu ingin pergi. Entah kemana dan mengapa. Walau lukamu itu belum sepenuhnya terobati. Akan tetapi, tak ada lagi yang mampu kulakukan. Datang dan pergimu selalu menuai pertanyaan-pertanyaan dan setumpuk ketidakpastian.

***

Dan malam juga ialah pertemuan kita untuk yang terakhir kalinya. Sungguh, saat itu aku sepertinya tak lagi mampu menafsirkan malam yang terus menerus mengisyaratkan detik perpisahan kita. Hingga tiba-tiba kau telah berdiri di hadapanku dengan wajah yang beku. Kabut dingin dan sunyi menguap dari kedua tatap matamu. Bibirmu bergetar seperti menahan suatu kegetiran yang dalam.
“Aku harus pergi”, katamu dengan suara yang parau.
“Kapan kau akan kembali?”
“Entah. Kepergianku untuk waktu yang tak terhingga.”
Kau adalah laki-lakiku yang tak pernah kerasan untuk tinggal. Bahkan untuk alasan tersulit sekalipun. “Aku adalah seorang petualang,” ujarmu selalu. Dan sepertinya aku tahu, ini kali terakhir kau pergi. Kepergian yang tak akan memastikan kata kembali. Angin menderu-deru mengirim ribuan galau ke hatiku. Ada timbunan beban yang menyesakkan rongga-rongga dada. Aku tak mampu bertahan. Tak ada lagi kata yang terucap. Pandangan mata menjadi isyarat percakapan kita selanjutnya. Mungkin satu-satunya jawaban yang pasti hanyalah lautan airmata yang berderai di pipiku. Tapi sejujurnya, aku adalah perempuan yang begitu membenci perpisahan, maka tanpa sepengetahuanmu, telah kuiringkan untukmu sebait mantra-mantra kutukan tentang sajak-sajak yang tak akan lagi mampu kau tuntaskan. Maaf, sesungguhnya aku sama sekali tak bermaksud untuk menyakitimu dengan mantra kutukan itu. Aku hanya seorang perempuan yang menginginkan laki-lakinya kembali. Dan saat itu, sisi egoisku begitu mengharapkan kau kembali. Oleh karena itu, kembalilah suatu nanti, maka akan kulepas mantra-mantra pengikat itu dengan sepenuh hati.

Semuanya juga kulakukan demi dirimu sendiri, demi mimpi-mimpimu itu. Jika kau masih saja berkehendak untuk bertualang, maka sampai kapan kau bisa mewujudkan mimpimu tentang keinginan menjelma dewa, bermukim di tempat-tempat sunyi, hidup bersamaku dengan bersahaja dan sederhana. Jika aku tak mampu membuatmu untuk kembali dengan mantra kutukanku itu, maka aku bukanlah perempuan yang mempunyai kemampuan lebih untuk mendampingi laki-laki tangguh sepertimu. Sungguh, aku tak ingin hanya menjadi sebagai persinggahanmu sesaat, sebagaimana perempuan-perempuanmu dulu. Aku ingin menjadi satu-satunya perempuan yang mampu mengikatmu untuk bermukim dan tak lagi bertualang. Oleh karena itu, kembalilah padaku, perempuan sejatimu.

Aku hanya mengijinkanmu untuk pergi selama sepuluh purnama. Tidak lebih. Setelah saat itu, mantra kutukkanku akan benar-benar menyiksamu. Tak hanya membuatmu mandul dalam mencipta sajak-sajak, tapi juga membungkam segala kata-kata yang hendak kau ucapkan. Dan pada tengah malam yang larut, mimpi dalam setiap lelapmu hanya akan mengabarkan satu pesan: kembalilah padaku, perempuan sejatimu. Saat itulah, kau akan benar-benar tersadar bahwa keputusanmu untuk meninggalkanku adalah sebuah penyesalan.

Mungkin akan ada berbagai macam mantra yang bisa kau temui di setiap persinggahanmu. Namun jangan pernah berharap akan ada yang sanggup menawarkan mantra kutukkanku. Mantra yang telah kuramu dengan segenap rasa kerinduan, setiap katanya bahkan telah dirasuki molekul-molekul cinta yang terhingga. Dan kau harus tahu, hanya aku yang bisa menawarkannya, dengan satu jalan: kembalilah padaku, perempuan sejatimu. Suatu saat, kau akan menyadari itu. Aku yakin. Seyakin keputusanmu untuk pergi, meninggalkanku, malam itu
Namun, ini adalah purnama yang ketigapuluh. Telah lebih dua puluh purnama dari batas yang telah aku tetapkan. Dan kau tak juga kembali. Apalagi yang harus aku yakini? Aku hanyalah seorang perempuan yang begitu menginginkan laki-laki sejatinya kembali. Apapun yang terjadi, aku tak ingin peduli. Bahkan sekalipun kematian telah menjemputmu, kau harus kembali dan aku akan menerima sukmamu serela hati.

***

Di waktu-waktu malam seperti ini, untuk kesekian kalinya, jiwaku terbunuh oleh sayatan-sayatan ingatan tentangmu. Akankah kau pun merasakan itu? Ketika derai-derai lamunan begitu bergelora, menghentak-hentak sisi batin yang rapuh, memecah keheningan malam, juga mencairkan kerinduan yang terbungkam. Mungkin tak ada lagi yang harus aku ingkari. Sementara, bayang-bayangmu masih banyak tertinggal di sini, di dinding-dinding kamarku yang hampir seluruhnya telah terukir sajak-sajak sunyimu. Harus bagaimana lagi aku menghindarinya jika separuh jiwaku telah tertanam di sana, di setiap bait-baitnya, di setiap kata-katanya, juga di setiap goresan-goresannya. Menatap sajak-sajakmu itu, jiwaku bagai terseret ke pusaran masa silam dengan lorong-lorong labirin yang panjang. Dan telah kutemui diriku teronggok gamang di sana, bersamamu. Menari-nari dalam buaian kemesraan. Mengukir sajak-sajak tentang langit malam yang penuh tebar bintang-bintang. Ah, begitu menyentuh, namun ketika bayang-bayang itu kugapai, segalanya terpecah menghambur seketika. Yang tersisa pada akhirnya hanya kepedihan yang nyata.

Sebab aku ialah perempuan yang senantiasa terpenjara dalam bayang-bayang kehadiranmu. Sebagaimana malam ini, masihkah kau merasakan hal yang sama seperti apa yang kurasakan saat ini. Sepertinya tidak lagi, karena persinggahan-persinggahan baru dengan berbagai peristiwa baru, juga perempuan-perempuan baru, sepertinya akan membawamu juga pada ingatan baru, suasana baru, bahkan mungkin perasaan baru. Oleh karena itu, terlarang bagi seorang petualang sepertimu untuk kembali mengenang segala sesuatunya. Kenangan mungkin hanya sebuah kesementaraan yang akan pupus dihantam putaran waktu. Namun, kala malam menjelang, ketika bintang-bintang berserpihan di kegelapan malam, saat kau tengah bergelut dengan sajak-sajak yang tak kunjung kau tuntaskan, pernahkah ada keping-keping kerinduan yang mengambang. Tentang setitik ingatan di masa silam. Ah, mungkin pada akhirnya aku harus memaksakan diri berjalan di jalanku sendiri. Menghadapi setiap likuan hidup yang penuh pertaruhan. Akankah setiap harapan akan hadir sejalan dengan kenyataan. Entahlah. Mungkin akhirnya aku perlu mempersiapkan sebuah mantra untuk mengutuk diriku sendiri.



Bandung, 25112004

Lautan Cinta dalam Puisi (Sebuah Tinjauan Singkat)

Perempuan datang atas nama cinta.
Bunda pergi karena cinta.
Digenangi air racun jingga adalah wajahmu.
Seperti bulan lelap tidur di hatimu,
yang berdinding kelam dan kedinginan.
Ada apa dengannya?


Teks puisi tersebut diambil dari skenario film Ada Apa Dengan Cinta (AADC) yang beberapa waktu sempat populer di kalangan remaja. Pembaca awam pun bisa melihat kebermaknaan cinta dalam puisi tersebut. Hal ini juga akan kita temui dalam banyak puisi lainnya. Mengapa banyak sekali puisi-puisi yang bertema cinta? Kenyataan ini kemudian menggelitik pikiran saya. Ada apa dengan Cinta (dan Puisi)? Hal itu mungkin bisa dijadikan suatu pembahasan yang menarik. Semoga!

Esensi Cinta
Tuhan menjadikan perasaan cinta sebagai kodrat yang harus ditanggung oleh setiap manusia. Bagaimana pun bentuknya, setiap manusia pasti pernah merasakan cinta. Walaupun demikian, cinta adalah hal paling abstrak yang dimiliki manusia. Konon, cinta adalah suatu misteri: cinta hanya bisa dirasakan dan tidak untuk didefinisikan. Oleh sebab itu, berbagai pengertian cinta yang diciptakan orang tak pernah sampai pada hakikat cinta sebenarnya. Lagi pula, cinta yang kita tafsirkan sangat tergantung pada berbagai hal, misalnya tujuan, konteks, serta pemahaman masing-masing. Jangan berpikir sempit dengan menggambarkan cinta hanya sebagai luapan perasaan dan berahi antara dua jenis kelamin yang berbeda (pria-wanita). Tidak! Cinta lebih luas dan dalam dari hanya itu. Lalu, cinta itu apa? Tak perlu kita merepotkan diri merenung berabad-abad dengan pertanyaan filosofis abstrak semacam itu. Seperti meniru kata Are, tokoh dalam film Brownis, “Biarkan cinta mengungkapkan sendiri rasanya!”

Puisi dan Cinta
Karena cinta adalah sebuah keniscayaan yang dimiliki setiap manusia, maka kita tak bisa menghindar darinya. Cinta itu manusiawi. Setiap manusia pernah mengalami cinta, pada apa pun, kapan pun, dan bagaimana pun. Cinta itu sendiri merupakan salah satu dari apa yang dirasakan dalam hati. Sementara menurut KH. Abdullah Gymnastiar (Aa Gym), hati (Qolbu) adalah pusat organ tubuh manusia. Perasaan, pikiran, dan jiwa manusia juga terkontrol oleh hatinya. Jika hati adalah pusat, maka cinta adalah virus yang dengan cepat merasuk ke setiap ruang. Jadi, jika cinta telah menguasai hatinya, maka cinta pulalah pikiran, perasaan, dan jiwanya. Lalu, apa pula kaitan cinta dan puisi?
Puisi adalah salah satu sarana pengungkapan sesuatu atau apa yang dirasakan, baik itu oleh pikiran, perasaan, maupun oleh jiwa. Puisi menampung segala yang dirasakan untuk kemudian diungkapkan. Apabila pikiran, perasaan, maupun jiwa seseorang telah terbelenggu dengan rasa cinta, maka cinta pulalah puisinya. Karena puisi hanya berperan sebagai wadah atau media apa yang dirasakan dan diungkapkan. Nah, Tak heran jika banyak puisi bernada cinta, karena cinta adalah salah satu hal yang paling banyak dirasakan manusia.

Lautan Cinta
Dari pemikiran di atas, kita bisa memperoleh gambaran mengenai keterkaitan cinta sebagai apa yang dirasakan dan puisi sebagai media pengungkapan rasa cinta itu sendiri. Cinta bisa menjelma apa saja dalam puisi. Seperti telah dikatakan sebelumnya bahwa ada banyak puisi yang bertema cinta. Salah satu puisi menarik yang menggunakan tema cinta sebagai kekuatannya adalah puisi Sapardi Djoko Damono berikut:

AKU INGIN

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu
Kepada api yang menjadikannya abu

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan
Kepada hujan yang menjadikannya tiada


Dengan puisi ini, Sapardi sepertinya ingin membawa pembaca pada dimensi cinta yang lain. Dengan kata-kata sederhana, namun begitu menghayutkan dan membawa pembaca pada imaji ketenangan riak-riak kecil di tengah-tengah samudra. Lautan luas yang penuh dengan hamparan cinta yang dalam. Senantiasa menggoda kita untuk selalu terlarut di dalamnya. Demikianlah kekuatan cinta dalam puisi bagaikan hamparan lautan yang memenuhi segenap ruang hati. Kini, ijikanlah saya untuk tenggelam di dalamnya.

me

salam takjim

segala kata
yang aku ciptakan
untukmu
adalah segenap bunga
dari semua benih asa
yang pernah kautanam
dalam jiwaku