23 January 2008

Ada Mawar Merekah di Senyum Pacarku

Ah, si Neng marah-marah lagi. Sebabnya sih mungkin kecil, cuman gara-gara aku telat angkat teleponnya. Maklum kesibukan akhir-akhir ini amat menyita waktu dan perhatian. Jadilah aku ini seperti orang sok penting. Bolak-balik kantor lah, bertapa di depan komputer, hingga rapat yang tak pernah berkesudahan. Kalau dipikir-pikir sih, aku sendiri pusing. Apalagi pacarku, yang akhir-akhir ini merasa agak sensitif. Lama-lama dia mengaku juga.
"Maaf, ya. Perasaan Neng memang sedang labil. Maklum urusan perempuan kalau sedang mendekati datang bulannya suka begitu," ucapnya beralasan.
Agak lama memang untuk bisa membuat dia mengerti mengenai kesibukan pekerjaanku. Aku harus pandai bersilat lidah dan merangkai argumen yang tepat. Pacarku ini mungkin tidak bodoh. Jadi, kalau sudah berdebat tak pernah mau kalah. Rasanya jadi ingat ujian sidang dulu. Serasa diadili oleh tiga orang dosen dengan gelar profesor. Tapi untungnya, aku ini pakarnya para pujangga. Apapun tudingannya padaku, selalu bisa aku jinakkan dengan rayuan yang memabukan. Dasar pria!
Setelah tenang, ia hanya berujar lirih.
"Neng hanya merasa khawatir terjadi apa-apa dengan Aa. Neng takut kehilangan Aa. Neng sayang banget sama Aa. Janji ya, jangan pernah begitu lagi."
Begitulah pacarku selalu. Bergetar juga hatiku ini mendengar ungkapan hatinya itu. Tapi apalah dapat dikata, keadaannya memang terkadang di luar kendaliku. Toh, ini memang benar-benar keadaan yang sebenarnya. Tidak direkayasa. Aku bukan seorang pendusta atau playboy yang banyak menipu kekasihnya demi mencari perempuan lain. Aku pria yang tak pernah mampu menyakiti hati perempuan. Aku bekerja keras pun demi masa depan yang lebih baik untuk kami bersama. Terkadang dengan sedikit egois aku pun kesal. Kemudian berkata keras padanya tentang kewajiban seorang lelaki yang harus bertanggung jawab mencari nafkah. Aku meminta padanya agar tidak selalu berburuk sangka dan belajar untuk mempercayai aku sepenuhnya. Kalau sudah begitu, dia akan menundukan kepala. Sedikit demi sedikit matanya berkaca-kaca. Kemudian hidungnya beringus dan terisak. Ah, selalu airmata yang menjadi senjata pamungkasnya. Aku tak pernah tahan dengan hal yang berbau kesedihan. Kalau sudah begitu, akulah yang pertama jadi menyesali diri karena telah begitu keras padanya. Dasar perempuan!

Itulah juga yang terjadi kali ini. Bedanya hari ini adalah hari ulang tahunnya. Padahal kami telah sepakat, hari ulang tahun itu tidak ada. Ulang tahun hanya celoteh konyol orang-orang yang selalu ingin dirinya tetap merasa muda. Siapa yang tahu tentang berapa lama ia akan hidup dan kapan ia mati? Merayakan dan mengenang hari-hari kelahiran bagiku sangat absurd dan nonsense. Tetapi hari ini si Neng menggugat.
"Setidaknya Aa angkat telepon Neng. Ucapkan kata-kata manis dan sayang. Neng Rindu, kita sudah lama tidak bertemu."
"Iya, Aa tahu. Tapi sedari pagi Aa sibuk mengerjakan laporan untuk dikirim nanti sore dan sudah ditunggu bapak kepala. Mengertilah sedikit!"
Kemudian senyap. Tidak ada jawaban di seberang sana. Setelah itu telepon berdenging tanda saluran ditutup.
Aku gamang. Neng juga kadang suka berlaku nekad jika sedang kecewa berat. Pernah suatu kali ia menelan obat maagnya lima kali lipat dari dosis hanya karena melihat aku bersama mantan kekasih. Untung akhirnya masih bisa terselamatkan. Nah, memutus telepon saat sedang bersengketa adalah alamat buruk. Kini aku kembali khawatir. Aku tak ingin kehilangan pacarku dengan cara tragis begitu. Segera aku menuju lemari dengan gelisah. Kuambil kotak pamungkas yang telah kusimpan sekian lama itu. Mungkin inilah saat terbaik. Aku khawatir kekecewaannya telah bertumpuk akhir-akhir ini dan harus segera aku tuntaskan.
Aku selesaikan pekerjaan kantor dengan cara kilat. Dari kantor menuju rumahnya hanya memakan waktu dua jam. Kuketuk pintu kamar kontrakannya. Lama tak ada jawaban dan hening sekali. Setelah itu, perlahan pintu terkuak. Pacarku muncul dengan mata sembab dan wajah yang muram.
Ah, pacarku tengah bersedih. Langsung aku bersimpuh di depannya. meminta maaf dan merayunya kembali. Kupeluk ia erat-erat, kubisikan kata sayang dan cinta ribuan kali. Setelah agak tenang, kuucap puisi indah yang selama ini begitu ia sukai. Perlahan telah kusiapkan sebuah kotak istimewa yang indah untuknya. Kuberikan padanya dengan tangan bergetar. Ia membukanya pelan-pelan. Seketika ia terpana. Di kotak itu, telah kusiapkan sebuah cincin bermata cantik dengan secarik tulisan indah tentang ajakan untuk menjadi pendamping hidupku. Sebuah kejutan indah di hari ulang tahunnya.
Ia kemudian menatapku lekat dan penuh makna. Saat itu terasa begitu mempesona. Saat itu adalah saat yang tak pernah kulupa. Ada mawar indah merekah di senyum pacarku.


Indramayu, Januari 2008