28 July 2006

Perempuan dengan Sebuah Kutukan

Mungkinkah aku tak lagi layak untuk terus mencatat kenangan. Tumpukan peristiwa tak lagi bermakna apa-apa. Hanya sesuatu yang hinggap di sepenggal ingatan yang membeku. Mungkin telah lama pula aku merindukan sesuatu. Dinding-dinding yang membisu, malam yang mencekam, serta tiupan angin senantiasa mengantarkan sunyi dan dingin, mengiringi sisa-sisa hidup yang kian entah. Dan waktu, ternyata telah begitu lama berlalu. Namun, mengapa aku belum juga mampu mengentaskan kegelisahan ini. Memaksaku kembali untuk memilah-milah timbunan masa silam: tentangmu. Dan malam, selalu saja terus menerus mengalirkannya kepadaku tanpa suatu alasan.

Ini waktu tengah malam buta, tapi aku berani bertaruh, kau belum juga bisa terlelap. Seperti malam-malam lainnya, kau akan berada di tengah-tengah kebusukan malam, memandangi langit yang tak berbatas, bergumam dengan kata-kata yang tak biasa, dan terus mencoba menulis sajak-sajak yang tak pernah bisa kau tuntaskan. Aku berani memastikan, sekeras apapun kau mencoba, kau tetap tak akan pernah mampu. Karena pada perjumpaan terakhir kita, aku telah mengutukmu untuk tak lagi mampu mencipta sepatah kata pun untuk sajak-sajakmu itu. Tidak perlu sebuah alasan. Aku hanya ingin mencoba membantu. Lagi pula, bukankah kau tak pernah bersungguh-sungguh untuk menuntaskan sajak-sajakmu. Karena serpihan sajak, akhirnya hanya akan mengantarkanmu pada sesuatu yang sunyi. Begitu pula dengan malam ini. Malam yang begitu mengigilkan keheningan. Di mana alunan kenangan akan memaksa setiap ingatan untuk tenggelam dalam kerinduan yang menyiksa, terserak di antara langit malam. Teriringi tembang-tembang syahdu dan lirih. Pada akhirnya, kita akan tiba pada suatu masa di mana diri merasa begitu sepi, begitu sunyi.

Malam ini, seperti juga malam-malam lain selepas kepergianmu. Aku akan berdiam diri dalam kepasrahan. Detik jam masih terdengar dan menggempur sisi batinku yang terdalam. Tapi aku tak pernah lagi peduli waktu, sebagaimana juga kau. “Waktu hanya sebuah penanda sesuatu yang tak pernah menentu,” katamu saat itu. Sepotong lilin kuletakan di sudut kamar. Sekadar teman kala keheningan menyergapku. Pijar cahayanya yang berpendaran mengisi lorong-lorong kegelapan. Lain hal ketika kita masih bersama, mungkin kita akan lebih suka berada dalam gelap. Karena kelam akan membuat kita lebih tenang untuk melakukan apapun. Saat itu aku akan merasa benar-benar menjadi seorang perempuan dan kau akan merasa benar-benar menjadi seorang laki-laki. Semacam perjamuan cinta yang sempurna antarsepasang kekasih. Mula-mula kau akan mendekatkan wajahmu pada telingaku. Kau ucap sebait sajak lirih dalam senyap. Lalu kau ukir perlahan-lahan di setiap jengkal tubuhku. Ada jutaan getar yang memenuhi segenap ruang-ruang yang selama ini terlupakan. Ah, selanjutnya mungkin kau lebih tahu apa yang seharusnya terjadi. Setelahnya, kita akan saling berbagi tatap. Saling mengalirkan kemesraan yang tak pernah bisa kumaknai hanya dengan sekadar kata-kata. Mungkin, kita hanya bisa menafsirkannya dengan isyarat rasa.

Apakah malam ini akan terasa seperti malam-malam yang pernah kita lewati dulu? Sepertinya tidak. Karena malam tak pernah mampu lagi memastikan apapun. Begitu pula dengan kepulanganmu. Satu-satunya hal yang paling aku mengerti dari malam ialah kegelapan. Dan itu akan selalu mengingatkanku akan tajamnya tatap matamu. Ingatkah kau pada perjumpaan kita yang pertama. Saat itu kita bertemu dalam sebuah tempat yang tidak semestinya aku berada di sana. Sungguh, aku benar-benar hilang arah dan tidak seorang pun mau peduli. Dan tiba-tiba kau telah hadir begitu saja di hadapanku dengan tatap kedua bola matamu yang legam, berkata-kata, menyebutkan sebuah nama, menanyakan segala sesuatu -yang sebenarnya terlarang kau ketahui-, menunjukan padaku peta semua arah, lalu pergi begitu saja dengan wajah penuh kemenangan. Pertemuan yang sederhana dan ringkas, sehingga tak ada seorang pun yang mampu menerka jika akhirnya kita bisa berada pada jarak yang lebih dekat dari perkiraan siapapun. Entah, aku tak tahu harus mengucap apa ketika selanjutnya kau telah berada di depan pintu rumahku, menunggu. Kita pun kembali bertemu dan kau terlalu banyak bicara. Sedangkan aku hanya menunduk. Selalu tak kuasa menatap bola matamu itu. Dan satu-satunya kata yang mampu kuucap saat itu hanya, “Tolong jangan hujani aku dengan tatapmu”. Kau pun tersenyum. Kemudian beranjak pergi setelah mengukir sebait sajak kecil berisi pesona di relung hatiku.

Malam-malam selanjutnya kau datang. Masih dengan tatap mata itu. Namun aku kian terbiasa. Bahkan kita telah sama-sama begitu meresapinya. Kau pun lalu mengajariku tentang bagaimana menjahit pijar bintang-bintang di kedalaman tatap matamu itu dengan baris-baris sajak. Lalu menguntainya dengan mimpi-mimpi yang senantiasa hadir di tengah-tengah lamunan kita. Banyak hal yang tumbuh dengan tak terduga, begitu pula dengan cinta, ketika dengan tiba-tiba kita telah saling merasakan segala sesuatunya. Namun, tak ada yang patut disesali. Prasasti itu telah berdiri dengan kokohnya. Kita hiasi dengan pahatan kisah-kisah indah tentang pijar bintang-bintang, keharuman malam, juga legam tatap matamu.

***

Pernah juga kita bicara tentang mimpi-mimpi yang kita temui pada lelap malam. Dan kita pun saling bertukar cerita. Kau berbicara tentang mimpimu di waktu yang tak terduga bahwa kau ingin menjelma dewa. Bermukim di kaki-kaki gunung atau di sekitar pesisir pantai. Hidup bersahaja dengan hanya hal-hal yang bersifat sederhana. Tentu saja aku harus hadir di sana. Mendampingimu menghadapi segala hal yang akan datang menguji. Bercocok tanam, mengail ikan, menernak hewan, juga mencipta sajak-sajak kebahagiaan adalah keseharian kita di sana. “Mimpi yang sempurna bukan?” ucapmu berbangga diri kala itu. Aku pun hanya bisa tersenyum. Lalu kau bertanya tentang mimpiku. Ah, aku pun tersipu. Seandainya kau tahu bahwa satu-satunya mimpiku ialah bisa bersamamu dalam hitungan waktu yang tak terhingga. Namun, kita akhirnya tahu bahwa mimpi tinggalah mimpi, tak selamanya mampu kita penuhi. Mimpi hanyalah salah satu jalan pelarian bagi orang-orang yang selalu mencoba ingin lepas dari jerat realitas yang tak mampu mereka hadapi. Apakah kita termasuk ke dalamnya? Entah.

***

Tak hanya hal-hal indah yang pernah kita lewati, tapi juga kegetiran. Sesuatu yang menyadarkanku bahwa hidup ternyata tak selalu hanya berisi bahagia dan tawa, tapi kadang juga penuh luka dan airmata. Kau datang di penghujung malam. Ketika itu aku tengah benar-benar mengingatmu. Aku senang kau datang. Namun darah yang mengucur di sekujur tubuhmu membuatku sangat tersentak. Kau masih saja bisa tersenyum kala itu, walau untuk selanjutnya kau langsung terbaring tak sadarkan diri. Sementara aku larut dalam tangis kekhawatiran. Tak ada gunanya bertanya mengapa semua itu terjadi karena aku lebih tertarik untuk mencari cara tentang bagaimana pendarahan di tubuhmu bisa kuhentikan. Ada enam luka yang dalam, dua di bagian dada, tiga di punggung, dan satu di lengan kirimu. Darah pun menderas dan ada beberapa daging yang mengelupas. Kuamati dengan cermat dan aku bisa memastikannya, ini akibat senjata tajam. Aku terpaksa harus mengatasi semua itu sendiri karena kalimat terakhir yang kau ucapkan sebelum tak sadarkan diri adalah sebuah larangan untuk meminta bantuan siapapun. Dengan segenap kemampuan yang kumiliki telah kuhentikan pendarahanmu dan sedikit demi sedikit kujahit lukamu baik-baik. Airmataku mengering ketika segalanya selesai kutuntaskan. Semalaman aku mendampingimu yang tak sadarkan diri. Dan inilah waktu-waktu di mana kau tak lagi banyak bicara, tapi dari diammu itu, aku seperti lebih banyak lagi menangkap kata-kata. Samar dan berpendaran serupa permukaan air telaga. Lelah dan khawatir membuatku terlelap. Entah berapa lama aku tertidur, hingga kusadari kau telah pergi dengan meninggalkan sebuah pesan tertulis berisi dua buah kata: terima kasih. Tak ada penjelasan atau apapun lagi. Kau adalah laki-laki tangguh yang selalu ingin pergi. Entah kemana dan mengapa. Walau lukamu itu belum sepenuhnya terobati. Akan tetapi, tak ada lagi yang mampu kulakukan. Datang dan pergimu selalu menuai pertanyaan-pertanyaan dan setumpuk ketidakpastian.

***

Dan malam juga ialah pertemuan kita untuk yang terakhir kalinya. Sungguh, saat itu aku sepertinya tak lagi mampu menafsirkan malam yang terus menerus mengisyaratkan detik perpisahan kita. Hingga tiba-tiba kau telah berdiri di hadapanku dengan wajah yang beku. Kabut dingin dan sunyi menguap dari kedua tatap matamu. Bibirmu bergetar seperti menahan suatu kegetiran yang dalam.
“Aku harus pergi”, katamu dengan suara yang parau.
“Kapan kau akan kembali?”
“Entah. Kepergianku untuk waktu yang tak terhingga.”
Kau adalah laki-lakiku yang tak pernah kerasan untuk tinggal. Bahkan untuk alasan tersulit sekalipun. “Aku adalah seorang petualang,” ujarmu selalu. Dan sepertinya aku tahu, ini kali terakhir kau pergi. Kepergian yang tak akan memastikan kata kembali. Angin menderu-deru mengirim ribuan galau ke hatiku. Ada timbunan beban yang menyesakkan rongga-rongga dada. Aku tak mampu bertahan. Tak ada lagi kata yang terucap. Pandangan mata menjadi isyarat percakapan kita selanjutnya. Mungkin satu-satunya jawaban yang pasti hanyalah lautan airmata yang berderai di pipiku. Tapi sejujurnya, aku adalah perempuan yang begitu membenci perpisahan, maka tanpa sepengetahuanmu, telah kuiringkan untukmu sebait mantra-mantra kutukan tentang sajak-sajak yang tak akan lagi mampu kau tuntaskan. Maaf, sesungguhnya aku sama sekali tak bermaksud untuk menyakitimu dengan mantra kutukan itu. Aku hanya seorang perempuan yang menginginkan laki-lakinya kembali. Dan saat itu, sisi egoisku begitu mengharapkan kau kembali. Oleh karena itu, kembalilah suatu nanti, maka akan kulepas mantra-mantra pengikat itu dengan sepenuh hati.

Semuanya juga kulakukan demi dirimu sendiri, demi mimpi-mimpimu itu. Jika kau masih saja berkehendak untuk bertualang, maka sampai kapan kau bisa mewujudkan mimpimu tentang keinginan menjelma dewa, bermukim di tempat-tempat sunyi, hidup bersamaku dengan bersahaja dan sederhana. Jika aku tak mampu membuatmu untuk kembali dengan mantra kutukanku itu, maka aku bukanlah perempuan yang mempunyai kemampuan lebih untuk mendampingi laki-laki tangguh sepertimu. Sungguh, aku tak ingin hanya menjadi sebagai persinggahanmu sesaat, sebagaimana perempuan-perempuanmu dulu. Aku ingin menjadi satu-satunya perempuan yang mampu mengikatmu untuk bermukim dan tak lagi bertualang. Oleh karena itu, kembalilah padaku, perempuan sejatimu.

Aku hanya mengijinkanmu untuk pergi selama sepuluh purnama. Tidak lebih. Setelah saat itu, mantra kutukkanku akan benar-benar menyiksamu. Tak hanya membuatmu mandul dalam mencipta sajak-sajak, tapi juga membungkam segala kata-kata yang hendak kau ucapkan. Dan pada tengah malam yang larut, mimpi dalam setiap lelapmu hanya akan mengabarkan satu pesan: kembalilah padaku, perempuan sejatimu. Saat itulah, kau akan benar-benar tersadar bahwa keputusanmu untuk meninggalkanku adalah sebuah penyesalan.

Mungkin akan ada berbagai macam mantra yang bisa kau temui di setiap persinggahanmu. Namun jangan pernah berharap akan ada yang sanggup menawarkan mantra kutukkanku. Mantra yang telah kuramu dengan segenap rasa kerinduan, setiap katanya bahkan telah dirasuki molekul-molekul cinta yang terhingga. Dan kau harus tahu, hanya aku yang bisa menawarkannya, dengan satu jalan: kembalilah padaku, perempuan sejatimu. Suatu saat, kau akan menyadari itu. Aku yakin. Seyakin keputusanmu untuk pergi, meninggalkanku, malam itu
Namun, ini adalah purnama yang ketigapuluh. Telah lebih dua puluh purnama dari batas yang telah aku tetapkan. Dan kau tak juga kembali. Apalagi yang harus aku yakini? Aku hanyalah seorang perempuan yang begitu menginginkan laki-laki sejatinya kembali. Apapun yang terjadi, aku tak ingin peduli. Bahkan sekalipun kematian telah menjemputmu, kau harus kembali dan aku akan menerima sukmamu serela hati.

***

Di waktu-waktu malam seperti ini, untuk kesekian kalinya, jiwaku terbunuh oleh sayatan-sayatan ingatan tentangmu. Akankah kau pun merasakan itu? Ketika derai-derai lamunan begitu bergelora, menghentak-hentak sisi batin yang rapuh, memecah keheningan malam, juga mencairkan kerinduan yang terbungkam. Mungkin tak ada lagi yang harus aku ingkari. Sementara, bayang-bayangmu masih banyak tertinggal di sini, di dinding-dinding kamarku yang hampir seluruhnya telah terukir sajak-sajak sunyimu. Harus bagaimana lagi aku menghindarinya jika separuh jiwaku telah tertanam di sana, di setiap bait-baitnya, di setiap kata-katanya, juga di setiap goresan-goresannya. Menatap sajak-sajakmu itu, jiwaku bagai terseret ke pusaran masa silam dengan lorong-lorong labirin yang panjang. Dan telah kutemui diriku teronggok gamang di sana, bersamamu. Menari-nari dalam buaian kemesraan. Mengukir sajak-sajak tentang langit malam yang penuh tebar bintang-bintang. Ah, begitu menyentuh, namun ketika bayang-bayang itu kugapai, segalanya terpecah menghambur seketika. Yang tersisa pada akhirnya hanya kepedihan yang nyata.

Sebab aku ialah perempuan yang senantiasa terpenjara dalam bayang-bayang kehadiranmu. Sebagaimana malam ini, masihkah kau merasakan hal yang sama seperti apa yang kurasakan saat ini. Sepertinya tidak lagi, karena persinggahan-persinggahan baru dengan berbagai peristiwa baru, juga perempuan-perempuan baru, sepertinya akan membawamu juga pada ingatan baru, suasana baru, bahkan mungkin perasaan baru. Oleh karena itu, terlarang bagi seorang petualang sepertimu untuk kembali mengenang segala sesuatunya. Kenangan mungkin hanya sebuah kesementaraan yang akan pupus dihantam putaran waktu. Namun, kala malam menjelang, ketika bintang-bintang berserpihan di kegelapan malam, saat kau tengah bergelut dengan sajak-sajak yang tak kunjung kau tuntaskan, pernahkah ada keping-keping kerinduan yang mengambang. Tentang setitik ingatan di masa silam. Ah, mungkin pada akhirnya aku harus memaksakan diri berjalan di jalanku sendiri. Menghadapi setiap likuan hidup yang penuh pertaruhan. Akankah setiap harapan akan hadir sejalan dengan kenyataan. Entahlah. Mungkin akhirnya aku perlu mempersiapkan sebuah mantra untuk mengutuk diriku sendiri.



Bandung, 25112004

No comments: