18 November 2006

KEKASIH TEPI LAUT


Hampir genap tiga belas tahun sejak perjumpaan terakhir kita di tepi lautmu. Dan aku masih saja tak dapat melupakannya. Seakan kerak lumut yang menyatu lekat di setiap dinding ingatan. Mungkin karena waktu terus mengirimkannya diam-diam di setiap sarapan pagiku. Masih selalu kuingat betapa tepian laut menjadi tempat terindah bagiku. Ada semilir lembut angin dan cakrawala senja yang menghampar kala itu. Kau tanggalkan pakaian yang kau kenakan hingga aku bisa menatap lekat punggungmu yang lapang. Lalu kau hantarkan tubuhmu ke dalam lambaian arus yang berkibar. Tak pernah sedikit pun rasa takut menghinggapimu saat kau berkejaran dengan gelombang. Kau selami lubuk-lubuk samudra untuk kemudian mencuri sebutir mutiara bercahaya di dasarnya. “Kupersembahkan hanya untukmu, Sang Permaisuriku”, ujarmu. Itu kau lakukan setiap kali kepergianmu menuju laut. Aku tersentuh, sungguh. Dan kelak, telah kurangkai mutiara-mutiara pemberianmu itu menjadi seuntai perhiasan yang paling berkilau.

Tak pernah ada yang mampu menyelami kedalaman laut lebih lama darimu. Itu selalu membuatku bertanya-tanya. Kadang aku menerka seadanya bahwa kau bukanlah lelaki biasa. Putri duyung melahirkanmu sebagai akibat hasil perselingkuhannya dengan bangsa manusia. Itulah sebab mengapa kau mampu berlama-lama menghirup nafas di dasar samudra. Tentu saja kau pun terbahak mendengarnya. “Aku tak semistis itu, manis. Kemarilah, akan kutunjukan padamu segala rahasia menaklukan keganasan samudra,” katamu di sela-sela tawa. Lalu kau bawa aku menuju pesisir, jalannya terjal penuh liku dan berbatu. Hingga kemudian kita tiba di sebuah ruang besar menganga dengan lorong panjang dan gelap. Di sanalah kau tunjukan padaku, mantra-mantra leluhur yang terpahat halus di dinding-dinding goa. Pemberian para dewa bagi leluhur para lelaki yang mendiami goa-goa di pesisir laut. Mantra-mantra rahasia yang membuat mereka mampu menyelami samudra hingga ke dasarnya. Menjadikan mereka lelaki tangguh pencari mutiara, juga penakluk wanita. Dan kini, aku terjerat dalam sebuah kisah cinta dengan salah satu pewarisnya.

“Laut adalah rumahku yang pertama dan kedalaman goa-goa ialah ruang singgahku yang kedua,” demikian katamu selalu. Dan di sanalah tempat-tempat dimana aku kemudian biasa menemuimu. Mencuri-curi kesempatan yang tersisa, sebab aku ialah seorang putri yang terpenjara. Kedua orang tuaku tak akan pernah mengijinkanku untuk bersama laki-laki laut sepertimu. Bahkan untuk sekadar mengenangmu. Tapi bukankah cinta selalu memiliki jalannya sendiri. Dan kita terus mencoba bersetia karenanya. Kau ajari aku untuk bersembunyi dari setiap pandangan. Kau tunjukan padaku lorong-lorong peninggalan leluhur yang tak seorangpun mengetahuinya. Kau bawa aku menuju kegelapan goa-goa yang tak terjamah. Kita pahat kebahagiaan kita di sana. Dengan gaung mantra-mantra leluhur yang kau ucapkan di setiap menjelang purnama. Tak pernah kurasakan getar-getar kekaguman petualangan ini dengan laki-laki selainmu. Membawaku pada rasa mistis yang tak mampu kuungkapkan.

Aku tak pernah memahami hidup sebagaimana kau memaknainya, tapi aku tahu betapa kau membenci setiap kenyataan yang tak memihak. Itulah saat dimana sebuah petaka muncul dengan tiba-tiba. Dan hidup mengharuskanku terenggut dari hadapanmu. Aku tak pernah mengerti bagaimana semua ini bisa terjadi. Seakan tanah yang kita pijak terbelah seketika. Meninggalkan jarak membentang tak berujung. Menghempaskan kita dalam ketiadaan yang hampa. Aku terbelenggu dengan sebuah keterpaksaan untuk memuaskan setiap keinginan kedua orangtuaku. Sebuah sangkar emas telah dipersiapkan untukku. Membuat hidup seketika tampak gelap dan suram. Menengelamkanku dalam lumpur kepedihan yang berkobar. Sejak itu, hari demi hariku kehilangan jawaban untuk segala keinginan, pun untuk setiap alasan.

Selepas perpisahan kita, hidupku serupa perahu rapuh terhempas ombak dan badai bertahun-tahun. Dengan harap yang tak kunjung berlabuh. Sesekali segenap rasa keputusasaan menyusup dalam nadiku. Membuatku seketika ingin mengakhiri hidup bagaimanapun caranya. Tapi seketika itu pula bayang-bayangmu selalu muncul dengan aroma laut yang pekat, diiringi lirihnya senandung mantra-mantra leluhur. Membuatku kembali terhanyut dalam pusaran masa silam, dimana setiap detik waktu pernah kita lewati bersama dalam kebahagiaan yang sempurna. Meresapkan ribuan getaran lembut ke lubuk terdalam jiwaku. Aku tak pernah bisa memahami, kadang beberapa hal yang mustahil ternyata bisa pula terjadi. Sejak itu, harapku kembali bangkit seiring lekatnya ingatan tentangmu. Kudendangkan pula mantra-mantra yang biasa kau ucapkan menjelang purnama. Berandai-andai setiap mantra yang kulantunkan bisa sampai ke tepi lautmu. Dan embusan angin membisikan setiap helai pesan rinduku padamu. Hingga gelombang pun menghantarkanmu padaku tiba-tiba. Melepaskanku dari jerat yang menyiksa.

Duhai kekasih, kepadaku kau telah menularkan semacam penyakit aneh yang tak mampu terdiagnosa seribu tabib. Tak pernah ada yang mampu mengerti, pun untuk diriku sendiri. Sungguh, sejak perpisahan itu, aku menyimpan sejenis kepura-puraan yang sublim selama bertahun-tahun. Dengan angan-angan liar yang memamah batinku untuk terus berharap dapat menemukanmu di setiap tatap mataku. Seringkali aku berharap sosokmu merapuh menjadi serpihan debu dan dihantarkan angin untuk kemudian datang menemuiku. Bila tidak, aku akan membayangkan sosokmu mengerdil menjadi benih yang dihantarkan burung-burung untuk kemudian terjatuh di hadapanku, tumbuh menjelma pohon keabadian yang rindang untuk menghiasi tamanku yang begitu sunyi tanpamu. Kadang kala, aku membayangkan dirimu sebagai ikan-ikan kecil yang terseret arus, dan sungai-sungai menghanyutkanmu ke pelukanku tiba-tiba. Sungguh, aku tak mengerti, betapa aku begitu seringnya membayangkan hal-hal semacam itu. Apakah kau bisa memahaminya, kekasih?


bersambung .....

No comments: