21 December 2006

MENYIBAK REALITAS PENDIDIKAN BANGSA

Menyoal pendidikan kita, membuat kita tak henti mengelus dada. Keprihatinan akan kondisi pedidikan kita seakan tiada kunjung usai. Alih-alih pendidikan seharusnya bisa menjadi pilar kehidupan bangsa yang menghantarkan setiap individunya menuju kecerdasan dan kesejahteraan hidup. Sebaliknya, pendidikan kita –entah sengaja atau tidak– malah menjadikan kita terpuruk dalam jurang degradasi intelektual dan moral yang akut. Sungguh, betapa pun komitmen bangsa ini terhadap pendidikan telah termaktub sejak dalam UUD 1945, namun pada kenyataannya tidak lebih dari sekadar mimpi dan bualan kosong belaka. Indikator itu semua bisa kita baca dalam realitas sistem pendidikan selama ini.

Mungkin suatu ketika, kita bisa menemukan sosok Nuraini, seorang ibu dari siswa di sebuah sekolah menengah negeri, yang harus kecewa ketika tingginya prestasi tak menjamin anaknya bisa melanjutkan sekolah karena biaya yang harus ia keluarkan jauh di luar kemampuannya. Ungkapan “Ada uang siswa disayang, tak ada uang siswa ditendang” kini tak lagi isapan jempol belaka. Tak hanya itu, jalur-jalur istimewa dibuka lebar hanya bagi orang-orang yang berkantung tebal untuk meneruskan pendidikannya ke sekolah-sekolah negeri ternama, yang membuat semakin banyak orang berprestasi harus kehilangan peluang karenanya. Inilah wujud nyata proyek komersialisasi pendidikan kita. Masih segar pula dalam ingatan tentang seorang siswa sekolah dasar yang putus asa, lalu bunuh diri akibat orang tuanya tak mampu membayar biaya ekstrakurikuler sebesar dua ribu lima ratus rupiah. Betapa itu sebuah kenyataan yang sungguh ironis dan tragis. Adalah kenyataan bahwa sedari Taman Kanak-Kanak hingga Universitas, uang telah menjelma minyak pelumas berjalannya proses pendidikan dengan dalih peningkatan mutu dan kualitas pembelajaran.

Namun, fantastisnya ongkos pendidikan apakah juga menjamin out put yang handal, berupa individu-individu yang memiliki kecakapan tinggi dalam menghadapi tuntutan hidup? Sebaliknya, betapa pun kita melihat berbagai aliran pendidikan, metode dan teknik pembelajaran baru bermunculan, serta sebesar apa pun biaya yang dikeluarkan demi menciptakan tingginya kualitas pendidikan, namun selama ini kita hanya menemukan kenyataan bahwa sistem pendidikan kita hanya menciptakan robot-robot statis tak bermakna (dehumanisasi). Walau berbagai prestasi nasional dan internasional diraih namun pada hakikatnya kita melihat sosok individu-individu instan yang hanya mampu menyelesaikan persoalan pada tataran lembaran kertas, sebaliknya tampak gamang ketika dihadapkan pada problematika kehidupan yang kompleks.

Tak hanya sebatas itu, kiblat pendidikan kita telah bergeser pada kepentingan pasar semata. Pendidikan telah kehilangan tujuan awalnya untuk membentuk manusia seutuhnya (humanisasi). Dari mulai kurikulum, hingga sistem pembelajaran telah disetting untuk pemenuhan lapangan kerja belaka. Adapun aspek-aspek moralitas dan humanisme dalam proses pendidikan lambat laun kian terabaikan. Sekolah kini bukan lagi tempat penyempurnaan akal dan budi, melainkan untuk menciptakan sarana penunjang bagi kebutuhan pasar. Padahal, pasar pula yang kemudian menelan sekolah-sekolah demi kepentingannya. Pendidikan sering dijadikan kedok untuk bisnis dan keuntungan materialisme belaka. Berapa banyak sekolah yang kini dalam proses swastanisasi. Apalagi melihat kasus penggusuran beberapa sekolah negeri demi pembangunan pabrik dan mall-mall. Jelaslah, bahwa pendidikan kita kini telah diperbudak oleh sistem kapitaslisme yang mengglobal. Apa daya tangan tak sampai. Itulah pepatah lama yang mungki pantas bagi pemerintah dalam hal membendung kuasa pemodal dan dampak globalisasi kapitalisme dalam pendidikan. Pemenuhan tuntutan anggaran pendidikan nasional 20% dari APBN dan APBD pun hanya slogan belaka. Di tambah lagi dengan politik penguasa yang hanya menjadikan peningkatan anggaran pendidikan sebagai wacana kampanye semata, sementara kenyataannya hanya janji busuk yang menahun.

Sementara janji-janji semakin muluk. Sebaliknya, sekolah-sekolah semakin ‘merendah’. Bahkan tak jarang beberapa sekolah telah rata menyentuh tanah. Tengoklah sekolah di banyak daerah terpencil, di mana para siswanya terpaksa belajar beralas lantai, dinding-dinding yang merekah, beratapkan langit-langit, papan tulis berlubang, hingga terbenam banjir di musim penghujan. Minimnya anggaran pendidikan memaksa pihak guru dan sekolah melaksanakan proses pembelajaran dengan kondisi yang menyedihkan. Belum lagi di tempat-tempat pasca bencana, di mana pembangunan tempat pendidikan cenderung terabaikan, siswa dan guru terpaksa harus melaksanakan pembelajaran di tenda-tenda darurat dengan fasilitas yang minim. Persoalan ini membuktikan ketidakmampuan pemerintah dalam memberikan pelayanan pendidikan yang layak bagi rakyatnya. Pendidikan bervisi dan berpihak pada kerakyatan tampaknya tinggalah sebuah mimpi yang kian tak tergapai.

Di kelas sendiri, pembelajaran menjadi sesuatu yang menjemukan dan menimbulkan kesan pemaksaan pikiran oleh ‘sang maha tahu’. Walau berbagai teknik dan metode belajar mengajar mutakhir bermunculan, namun tak juga kunjung membawa siswa pada hasil yang diharapkan. Bahkan, tak jarang ditemui adanya pembelajaran semu yang membawa siswa semakin jauh dari realitas. Sementara nasib guru pun tak kalah tragis, di tengah tuntutan profesionalismenya sebagai tenaga pendidik dan jam kerja yang melimpah, guru harus menanggung beban pendapatan yang kecil. Terlebih bagi guru ‘tidak tetap’ dan yang berada di daerah terpencil, di mana hak-haknya sering terabaikan. Guru adalah potret profesi pendidikan yang termarjinalkan.

Di sisi lain, kurikulum sebagai aspek penting proses pendidikan seringkali jadi permainan politik para elite pendidikan. Pergantian kurikulum yang seringkali terlalu prematur membuat hasil proses pendidikan tidak begitu bermakna. Pengadaan buku-buku yang relevan, sosialisasi, hingga penataran dan pelatihan pada ujungnya memberi peluang untuk proyek bisnis anggaran pendidikan. Sekolah, guru, dan terutama siswa menjadi terombang-ambing dalam ketidakpastian masa depan. Belum lagi ditambah problematika ujian nasional yang hingga kini belum juga menemukan jawabnya. Tidak ketinggalan pula kasak-kusuk kepentingan di balik penerapan undang-undang guru dan dosen, serta rapuhnya kebijakan sistem pendidikan nasional, maka kian genaplah keprihatinan kita.

Walaupun angka jumlah lembaga pendidikan demikian tinggi, namun apakah berkorelasi dengan tingginya angka lulusan yang diserap lapangan kerja? Proses pendidikan tidak lagi berorientasi pada kualitas, tapi pada kuantitas, prestise, dan komersialisme. Hal ini menciptakan produk pendidikan yang rentan dan rapuh. Problem pengangguran pun semakin mengakar. Kini, muncul pula paradigma feodalis, di mana ada pemahaman bahwa mutu atau kualitas seseorang akan dilihat dari gelar pendidikan yang disandangnya. Maka berbondong-bondonglah masyarakat menempuh pendidikan tinggi hanya dengan harapan untuk memperoleh gelar sehingga dapat membantu pula memperoleh pekerjaan yang berpendapatan tinggi. Tak jarang ada pihak-pihak atau lembaga pendidikan yang secara terang-terangan memberikan jalan pintas berupa gelar S1, S2, S3, bahkan Profesor dengan biaya tertentu tanpa proses pendidikan. Gelar menjadi komoditas bisnis sebagai kepanjangan tangan kapitalisme pendidikan. Motivasi awal pendidikan untuk menguasai ilmu pengetahuan dan keterampilan pun terabaikan.

Tulisan ini mungkin carut marut, tapi akan tampak lebih carut marut lagi bila kita memandang kondisi pendidikan kita. Realitas pendidikan yang telah dipaparkan di atas, mungkin hanya sebagian kecil saja dari 1001 permasalahan pendidikan kita lainnya. Jangan anggap potret buram realitas pendidikan kita ini hanya sebagai siulan kosong belaka. Beberapa dari kita mungkin pernah mengalaminya, merasainya, bahkan telah menjadi bagian darinya selama berpuluh tahun. Dan apakah kita akan terus berterima? Kesadaran individu untuk bergerak dan berubah menjadi kuncinya. Peka membaca realitas semacam ini seyogianya mampu menghantarkan kita menuju apa yang disebut oleh Paolo Fiere sebagai tahapan “kesadaran kritis” (critical consciousness). Penyadaran semacam itu diharapkan akan membawa kita pada kehendak untuk bertindak dan berubah. Tidak sebaliknya, malah tenggelam dan terseret arus dalam “budaya bisu” (submerged of culture silent), yaitu masyarakat yang selalu tertekan dan tak kuasa meski hanya untuk menyuarakan keprihatinannya. Pada kondisi semacam itu, hakikatnya kita tidak lagi manusia, –mengutip sajak seorang kawan– “lalu kita hanya akan menjadi batu! Menjadi Batu!”.

Bandung 121206

1 comment:

mel@ said...

jangan... jangan jadi batu... emang kamu malin kundang apa?... hehehehe...