22 August 2006

Seorang Perempuan di Ujung Beranda


Malam ini ia kembali mengulangi kebodohan yang sama. Kebodohan yang telah dilakukannya dan akan terus dilakukannya selama sesuatu yang ia nanti belum juga kembali. Matanya menembus kebisuan malam. Sementara langit kian larut dalam kegelapan. Udara dingin terasa menyergap. Ia dekap tubuhnya sendiri erat-erat. Perasaannya kembali menerawang menuju entah. Hati kecilnya merasa telah lama merindukan sesuatu. Sejenak ia kembali bimbang. Namun segenap kekuatan kembali ia kumpulkan.

“Mugkinkah ia kembali?” ucapnya pada dirinya sendiri. Angin berhembus lirih menjawabnya.

Selama ini ia sadar bahwa penantiannya itu hanya akan menenggelamkannya akan sesuatu yang sia-sia. Namun sebuah impian selalu membawanya kembali dalam lautan kenangan. Suatu masa ketika ia masih merasakan segalanya. Perasaan yang menuntunnya ke suatu taman penuh bunga. Dan ia merasa teramat nyaman di sana. Di samping pelukan seorang laki-laki berwajah sayu sambil sesekali menatap langit malam yang bertahta di kedua bulatan hitam matanya. Berharap menemukan secercah bintang yang berpendaran. Dan itu, pastilah diperuntukan untuk dirinya. Ya, hanya untuk dirinya seorang. Ah, telah lama semua itu berlalu. Telah begitu lama. Entah. Ia tak lagi sempat mengingat-ingat waktu. Penantian dan harapan telah menenggelamkannya dalam sebuah lautan ketidakmengertian yang hampa. Lagipula, ia tak pernah mampu untuk mengerti mengapa semua itu akhirnya bisa lenyap ditelan segenap ketidakpastian.

Kabut kian pekat membalut angin yang berhembus. Juga seakan turut membalut hati rapuh yang kini dihempas galau. Batinnya kini semakin didera keengganan untuk kembali mempertanyakan segala sesuatunya. Pernah ia mencoba menumpuk–numpuk daftar pertanyaan dan senantiasa berharap bahwa jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu suatu ketika akan datang dan menentramkan kerisauan hatinya selama ini. Dan yang ia temui pada akhirnya hanyalah ketiadaan. Kesadaran membawanya kembali pada sebuah realita bahwa sesuatu yang telah pergi tak mesti akan selalu kembali. Walau begitu, ia masih selalu saja memaksakan diri dan berpura-pura memiliki kemampuan yang lebih untuk menanti dan berharap.

Aroma mendung tiba-tiba menghadang lamunannya. Kini ia sama sekali tak mengharapkan hujan karena sayatan dingin hanya akan menjemput kenangan lamanya untuk singgah dan itu artinya akan pula menambah segenap kerisauannya saat ini.

Ia mencoba melangkahkan kaki. Beranjak dari beranda dengan rasa dingin yang mengalir kian pekat. Akan tetapi langkahnya tiba-tiba terhenti. Kembali dipandanginya deretan pintu pagar dan berharap bahwa tadi ia telah melihat sesosok tubuh laki-laki di sana. Namun, akhirnya yang ia dapatkan ialah kekecewaan, tak ada siapapun di sana.

“Mungkin aku terlalu banyak mengingat sesuatu yang tak seharusnya kuingat”.

Tanpa disadarinya, dua buah pasang mata mengintai di balik pintu. Dua sosok gadis kecil memperhatikan perempuan yang berdiri ditepi beranda itu. Mereka berbisik-bisik lirih. Namun, tak lama kemudian mereka pun menyingkir dari balik pintu. Sementara perempuan itu tetap mematung di tepi beranda. Menyapu pandangan dalam kegelapan langit malam yang kian sempurna. Tetap saja tak ada yang bisa ia mengerti. Penantian itu telah bertahun-tahun ia jalani, namun tak juga ia temukan jawabnya. Ia hanya seorang perempuan yang merasa tersia-siakan. Laki-laki itu pergi suatu ketika dengan membawa separuh jiwa yang selama ini telah ia bina. Sempat pula ia tersungkur dalam penderitaan yang meraja. Hingga suatu waktu kedua orang tuanya yang merasa iba dengan itu semua memberikan untuknya seorang pengganti yang diharapkan bisa mengobati luka dan penantian akan laki-laki yang telah pergi itu.

Tapi, semua itu tak juga meluluhkan harapannya untuk kembali menatap sosok lelaki yang telah pergi itu. Walau bagaimanapun ia masih ingat, dan akan terus mengingat janji laki-laki itu untuk kembali padanya.

“Dengarlah baik-baik perempuanku, aku akan pergi sejenak, tapi ingatlah, ketika musim telah beranjak hujan, ketika purnama telah bergulir untuk yang keseribu kalinya, aku akan datang kembali padamu.”

Itulah yang terakhir kali ia ingat dari laki-lakinya. Dan sungguh, hal itu membuatnya tersungkur dalam sebuah penantian yang akut. Selama berpuluh tahun. Di tempat yang sama, di ujung beranda.

some teks is missing

No comments: