17 August 2006
Kita Pernah Berbagi Hujan
I
Kita pernah berbagi hujan pada suatu malam. Selepas mendengar bait-bait puisi yang disuarakan dengan lantang. Kau terlalu memaksakan kehendak waktu itu. Seakan merasa diri lebih mampu menantang badai sekalipun. Dan aku harus bersetia melindungimu dari cercaan cuaca, juga tikaman dingin. Kita lalu bercakap-cakap tentang kecemasan. Sisa-sisa tawa berderai untuk selanjutnya tersaingi muram dan kegalauan. Dan akhirnya aku tahu, kau bukanlah seorang perempuan yang senantiasa mengangguk. Karena setiap kata-kataku dimentahkan keegoisan yang merasa diri lebih dari siapa pun. Aku menunduk di antara angan yang basah. Perjalanan kita dipenuhi tatap mata yang sendu dan senyuman-senyuman yang tak pernah mampu kutelusuri maknanya. Aku kembali harus mengalah. Pulang dengan sisa-sisa kelemahan seorang laki-laki yang pemurung. Namun, kata dan doa yang kau sematkan terakhir kali telah membuatku kembali tersentuh oleh kepasrahan, untuk kembali bersimpuh dalam tatap matamu yang purnama.
II
Aku harus kembali berani bertaruh. Mencoba memahami sesosok perempuan untuk yang kesekian kali. Seseorang yang selalu terbangun pada sepertiga malam yang usai. perempuan yang selalu mengulum diam dan senyuman, juga keteduhan yang muram. Tapi akhirnya aku mengerti, ia menyimpan sejenis kepura-puraan yang akut. Berselimut sikap dan setumpuk pertanyaan yang tak pernah mampu kuterjemahkan seketika. Serupa labirin teka-teki.
Kini, aku menjelma sesosok pemain di atas panggung, bersiap dengan peran dan naskah tak berwujud. Ah, aku memang seorang laki-laki yang pandai menerka setiap peristiwa.
Bandung, 050305
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment