22 August 2006

MEMBURU KADO CAHAYA



“Aku tak ingin sesuatu yang muluk-muluk. Hanya sekuntum cahaya sebagai kado ulang tahunku,” ucapnya suatu ketika di hari ulang tahunnya.

“Ya, tapi di mana aku bisa dapatkan sekuntum cahaya, Nona.”

“Lho, itu terserah padamu. Aku tidak mau tahu, yang penting kau harus bisa mendapatkan sekuntum cahaya untukku,” pintanya, “tidak banyak kan? Hanya sekuntum cahaya. Selain itu tidak! Cepatlah! Aku tidak mau terlalu lama menanti.”

O, Sang kekasihku tercinta. Pintamu itu ada-ada saja. Di mana lagi aku bisa mendapatkan sekuntum cahaya jika dunia yang kita huni ini hanya penuh dengan kegelapan yang meraja. Melingkupi kehidupan kita yang kotor. Penuh kemunafikan dan durjana. Lihatlah! Aku punya segalanya, harta yang berlimpah, emas permata, kedudukan, juga jabatan tertinggi. Apapun yang kau minta pasti akan kuberi detik ini pula, asalkan selain cahaya itu.

Ribuan tahun yang lalu, mungkin kita akan mudah mendapatkan sekuntum cahaya. Mereka banyak berceceran di toko-toko buku, rumah peribadatan, di rumah–rumah, sekolah-sekolah, perguruan tinggi, dan tempat-tempat lainnya. Bahkan, hampir setiap orang di negeri kita ini memiliki sekuntum cahaya. Akan tetapi, kini semua itu hilang tiba-tiba, semenjak kejujuran sudah tidak ada lagi, dusta dan kemunafikan merajalela di mana-mana. Hingga sekuntum cahaya pun tersingkirkan. Tempat mereka tergantikan nafsu dan keserakahan yang menakutkan. Dunia kita pada akhirnya hanya penuh dengan kekacauan. Tetapi justru di sanalah kita bisa hidup dan berkuasa. Mengendalikan orang-orang yang lemah dan malas. Lalu kini, di saat sekuntum cahaya sudah tidak ada lagi di mana pun, tiba-tiba kau mengharapkannya kembali. Untuk apa semua itu, Nona? Bukankah nafsu dan kegelapan itu lebih menguntungkan untuk kita. Kita bisa menggunakannya untuk mendapatkan apa pun yang kita inginkan. Harta, jabatan, emas permata, dan semua yang kita ingini.

“Untuk apa katamu? Justru karena barang itu langka, maka akan semakin istimewa nilainya. Apalagi berumur ribuan tahun. Bayangkan jika kita bisa mendapatkannya. Pasti kita akan dikenal di seluruh semesta karena berhasil menemukan sesuatu yang telah menghilang selama ribuan tahun. Lagi pula, masa sih kamu tidak bisa mendapatkannya. Kamu ialah orang terpandang dan berkedudukan paling tinggi di negeri ini. Bukankah kau tinggal memerintahkan ribuan bawahanmu itu untuk melaksanakannya. Sementara kau sendiri tidak perlu turun tangan lagi. Para anak buahmu itu pasti akan membereskan semuanya. Mencari ke segenap penjuru mata angin untuk mendapatkan apa yang kamu inginkan. Kemudian kau tinggal membingkiskannya untukku. Setelah itu, barulah kau bisa memiliki aku sepenuhnya. Aku janji. Setelah kau bisa mendapatkan sekuntum cahaya itu, maka apapun yang kau mau dari aku akan kuberikan sepenuh hati. Hei, kau dengar tidak? Itu bukan perkara sulit, bukan?”

Ah, akhirnya kuturuti juga permintaan kekasih tersayangku itu. Bagaimanapun ia adalah satu-satunya orang yang aku cintai. Walaupun sebenarnya dengan kedudukan dan kekuasaanku, akan mudah kiranya mendapatkan perempuan mana pun yang aku suka. Berapa banyak perempuan pun yang aku kehendaki. Secantik dan semolek apapun itu. Namun perempuan ini mempunyai keistimewaan yang tak dipunyai perempuan lain. Ia mampu membuatku bertekuk lutut di hadapannya. Memujanya, menuruti semua keinginannya, mematuhi perintahnya, menyetujui sarannya, dan masih banyak lagi. Entah, mengapa aku tidak pernah mampu untuk membantah. Seolah-olah, kata-katanya adalah semacam sabda Tuhan yang tak bisa kulanggar.

Kukerahkan seluruh bawahanku: para tentara, karyawan, pejabat, pekerja, hingga masyarakat dan dari mulai anak-anak sampai tua renta. Hampir seluruh orang yang ada di negeri ini membantuku untuk menelusuri keberadaan cahaya. Para tentara menggeledahi seluruh rumah di negeri ini, mendeteksi keberadaan sekuntum cahaya. Para pegawai mensensus peduduk dengan harapan akan menemukan sekuntum cahaya. Seluruh jengkal daratan, semua tetes lautan telah mereka gali, angkasa pun telah pula mereka jelajahi. Namun, belum juga mereka temukan apa yang aku cari. Sementara kekasihku kian resah menunggu.

“Masa sih begitu saja tidak becus. Aku sudah merasa bosan menungu. Aku hanya ingin bahagia. Bukankah sebelumnya kau berjanji untuk membahagiakan aku dengan menuruti semua keinginanku. Dan selama ini, bukankah aku tidak banyak meminta kepadamu. Mengapa ketika aku meminta untuk pertama kalinya kau tak mampu memberikanya kepadaku. Hanya satu saja, sekuntum cahaya, tak banyak kan?”

“Ya, tapi….”

“Jangan berdalih! Kau adalah penguasa tunggal di negeri ini. Apa sih yang tak bisa kau lakukan. Semua orang di negeri ini pasti akan menuruti setiap perintahmu. Carikan aku sekuntum cahaya. Titik.”

Cahaya, Oh cahaya di manakah engkau berada, sang kekasihku menginginkan engkau sebagai hadiah ulang tahunnya. Sementara telah ribuan tahun engkau menghilang tak tentu rimbanya. Kemanakah aku harus mencarimu? Duhai cahaya, aku hanya ingin sang kekasihku itu bahagia. Dan sebagai syarat kebahagiaannya itu, ia menginginkan engkau di hari ulang tahunnya? Apa yang harus aku lakukan jika segala cara telah aku tempuh namun tak jua kudapatkan kau.


Next teksis missing

No comments: