09 August 2006

Lima Huruf Menuju Sunyi

Kala itu, diam adalah malam. Ia kembali mencerna resah. Terperangkap sebuah tempat di mana waktu sepertinya tak mau lagi menunggu. Telah lama ia terpendam di sana. Dalam kesenyapan. Sementara layar komputer tetap menyala. Menunggu sesuatu, entah, mungkin tentang sebuah kata atau apapun yang akan ia goreskan di sana. Segalanya selalu menanti, menanti, dan menanti, tanpa kepastian.

“Ia pergi dan tak akan pernah kembali,” lirihnya.

Seperti ada semacam keberanian yang menyelinap di antara aliran darahnya. Jari-jari kurusnya yang selalu bergetar itu kini mulai bergerak. Tombol huruf C di atas papan keyboard ditujunya. Sepermilimeter lagi jari-jari itu akan sampai, namun tiba-tiba terhenti dan kemudian ditariknya kembali. Keengganan bergemuruh di dadanya yang hampa. Ia kembali terjelembab. Matanya bergetar. Kesedihan itu rupanya telah merasuk dalam. Tetes-tetes airmata pun kini menggembang. Sebuah kata tentang luka mengingatkannya akan kisah masa lalu yang pedih. Tubuhnya kini meringkuk. Kedua lutut ia rekatkan, kepalanya ia benamkan dalam isak tangis yang sendu. Walaupun jauh di lubuk hatinya, ia telah merasa malu untuk terus-menerus bersedih.

Tiba-tiba tangisnya terhenti. Ada amarah yang berkilat di matanya. Wajah angkuhnya ia tegakkan. Tubuhnya pun bagai diguncang gempa yang hebat. Di antara denting-denting waktu, ia berteriak keras, menggetarkan dinding-dinding kamar yang telah lama kosong dan lembab. Dan turut pula memecah malam di luar sana, yang kini lelap dengan dinginnya angin malam yang berhembus tajam.

“Persetan dengan airmata!” serunya pada diri sendiri.

Namun akankah ia mengerti bahwa ada sesuatu yang hingga kini tak bisa ia ingkari, dan sampai kapanpun tak akan pernah bisa ia ingkari. Sesuatu yang mengganjal di lelap mimpinya. Semacam ombak yang senantiasa bergulung menghantam pantai. Sesuatu yang lebih dalam dari sekadar airmata dan kesedihan: kenyataankah? Entah.

Kesendirian ini tentunya hanya untuk dirinya sendiri. Bukankah kini tak ada lagi yang rela untuk menampung segenap asa dan kerinduannya itu. Kesendirian yang begitu rapi ia simpan di setiap hembusan nafasnya yang nestapa. Dan kesendirian, baginya kini ialah pintu kamar yang terkunci rapat, jendela yang terpaku, lubang ventilasi yang terisolasi, dan tentunya suara yang terbungkam, juga segala sesuatu yang hanya bisa ia nikmati sendiri.

Tajam tatapnya kembali menuju layar komputer. Harus ada yang terselesaikan, pikirnya. Tanpa terasa bulatan putih matanya kian memerah. Seperti bara api yang senantiasa menyimpan amarah. Lalu hamparan puisi yang sedari tadi berceceran di sekitarnya, diraihnya kembali. Dengan beringas ia tampak mencari-cari. Pikirannya menyeruak suasana.

“Kata…kata…kata…kata…,” ucapnya pada hamparan puisi itu.

Ia menemukan sesuatu, ya, sesuatu. Selembar puisi diraihnya erat-erat. Lalu dibacanya pula dalam diam. Bibir keringnya tampak gemetar. Ia pun memejamkan mata. Pikirannya seperti tengah meresapi mantra-mantra yang hakiki. Absurditas yang biasa ia puja di setiap aliran waktu. Keliaran imajinasi yang pasti akan membawanya ke dalam ruang di mana realita dan sesuatu yang semu seakan tiada bedanya. Tubuh kasarnya terdiam tanpa gerak. Bahkan mungkin tanpa nafas, tanpa denyut nadi, dan tanpa detak jantung sekalipun. Namun wajahnya menampakan ketenangan, didekap kehampaan yang paling sublim. Sekali lagi, sebuah kenikmatan yang hanya bisa dimengerti oleh dirinya sendiri. Keheningan yang kian menggelora, tapi ia sama sekali tak merasa kehilangan apapun. Hanya sebuah keterasingan yang lepas dari sebuah rutinitas hidup, teramat merdeka, tak terjajah oleh sesuatu.

Perlahan-lahan kini pelupuk matanya membuka. Jiwanya seakan baru saja terlahir kembali dari sebuah rahim bernama sunyi, yang telah mengandungnya selama berabad-abad. Ia menarik nafas panjang, lalu menghembuskannya perlahan. Sungguh, kegelisahannya kini mereda sesaat. Seperti kemarau di tengah gurun sahara yang gersang, tiba-tiba terguyur hujan lebat yang menyejukan.

“Sebait puisi,…ah, tidak! Aku telah terlalu lelah dengan puisi. Namun apalagi kini yang harus aku renungi. Oh, Tuhan, jangan biarkan aku senantiasa terpuruk di dalamnya…” kata-katanya terhenti seketika.

Dipandanginya layar komputer kembali. Ia tersentak. Ada huruf C terpampang di lembaran putih komputernya. Aneh, ia merasa belum sempat untuk menekan tombol huruf C. Namun, kini tidak ada waktu untuk bertanya-tanya lagi. Jawaban telah menjelma labirin-labirin hampa di otaknya. Tanpa sadar, jari telunjuknya kini telah menekan tombol huruf C dengan kelelapan yang panjang. Terpampanglah seketika deretan huruf C yang berjejer rapi. Setelah sampai pada baris kedua, ia baru tersadar.

“Oh, apa yang telah kulakukan?” sesalnya pada diri sendiri.

Sebenarnya sesal ialah sesuatu yang teramat ia benci. Baginya, sesal hanyalah perbuatan bodoh manusia. Pertanda ketidakyakinan atas apa yang telah dilakukan, ketidaksadaran atas setiap resiko yang hadir di setiap langkah kehidupan, dan semacam ketidakmampuan menerima segala ketentuan yang telah digariskan oleh Sang Penentu. Sementara waktu, toh, tak pernah bisa berbalik arah, lalu untuk apa manusia harus merasa menyesal atas semua yang telah dilakukannya. Namun, pendiriannya kini adalah semacam konsekuensi dari luka yang pernah dideritanya di masa lalu. Ia tiba-tiba teringat pada suatu masa di mana ia pernah mengalami sebuah penyesalan yang begitu mendalam. Sebuah kisah yang melankolis, tetapi berakhir dengan goresan derita hingga seumur hidupnya. Tentang seorang perempuan berwajah hujan, tentang cinta yang pernah bersemi, tentang dahaga dan hampa yang terpuaskan, tentang kemesraan yang mendesah, dan tentang sebuah pelukan yang senantiasa hangat. Sekian lama ia terbuai di dalamnya, larut di antara kesyahduan yang membunga. Sehingga suatu kali, pernah juga ia banyak mengucap puji syukur kepada Tuhan karena telah sudi menciptakan makhluk bernama perempuan dari tulang rusuk laki-laki. Bukankah satu sama lainnya tak pernah bisa hidup sendiri. Namun, realita sepertinya tak pernah memihak pada manusia semacam dirinya. Harapan yang tak sejalan dengan kenyataan. Karena pada akhirnya, perempuan yang telah sekian lama dipujanya itu, tiba-tiba menghilang dan tak pernah kembali. Entah kemana dan mengapa.

“Kesetiaan rupanya tak pernah bisa benar-benar bermakna,” ucapnya waktu itu, di antara waktu yang berguguran.

Ketabahannya roboh seketika. Penyesalan perlahan-lahan menyusupi denyut nadinya, desah nafasnya, detak jantungnya, bahkan setiap helai jiwanya. Ia menyesal telah terbuai bujuk perasaan yang seharusnya tak patut ia percayai. Dan ia pun menyesal karena telah mengabaikan bisik logika yang seharusnya menjadi pertimbangan utama. Itulah di mana ia pernah merasakan penyesalan untuk yang pertama kalinya dan sekaligus untuk yang terakhir kalinya. Akhirnya, ia pun menyesal karena telah merasa menyesal. Sejak itulah, ia mengasingkan diri, mencoba memahami kembali segalanya dengan meresapi segenap kesendirian dan sunyi.

Layar komputer masih menunggunya untuk berkata. Ada bisik hati yang menuntun jari telunjuk kanannya untuk menekan tombol huruf I. Sejenak pikirannya bimbang akan sesuatu. Dan kini, ia teramat merasa ragu-ragu. Seribu pertanyaan pun berkecamuk: mengapa harus huruf I, mengapa tidak huruf yang lain saja, ada apa dengan huruf I, begitu berartikah huruf I, dan sebagainya, dan sebagainya. Namun ia terlambat, sebuah kekuatan asing menarik jari telunjuk kanannya untuk menekan tombol huruf I. Akhirnya terpampanglah di layar komputer, huruf I yang tegak dengan angkuhnya.

“Mengapa aku tak pernah mampu untuk mengeja hidupku sendiri,” teriaknya dalam kekesalan.

Lembaran puisi yang berserakan, layar komputer yang mengambang, ruang yang kosong, dan kesendirian yang hampa, menggambarkan kepedihannya yang semakin meraja. Pernah pula ia berspekulasi, mencoba untuk mengerti arti hidup melalui 1001 jalan kematian.

“Bukankah setiap yang hidup itu pasti mati. Lalu untuk apalagi aku menundanya, jika hidup pun aku serasa mati,” ujarnya saat itu.

Karena itu, beberapa kali ia mencoba untuk membunuh dirinya sendiri, baik itu dengan terjun bebas dari ketinggian puluhan meter tanpa pengaman dengan kepala berada di bawah, membakar tubuhnya sendiri dengan guyuran bensin, meminum racun yang paling mematikan, menggantung lehernya di tiang gantungan, menenggelamkan diri di lautan, menusuk jantungnya dengan senjata tajam, maupun menembak kepalanya dengan pistol sungguhan. Namun Tuhan sepertinya belum berkehendak ia mati. Dan setiap kali percobaan bunuh diri itu dilakukannya, setiap kali pula ada keajaiban yang membuatnya masih tetap hidup. Dalam kegagalannya, akhirnya ia pun tersadar bahwa terlalu bodoh bagi dirinya untuk sekadar berputus asa, naif, dan sia-sia.

Ia kemudian kembali teringat pada lembaran puisi yang berserakan itu. Dipandanginya satu persatu dengan cermat. Mungkin ada jutaan huruf, ribuan kata, dan ratusan kalimat di sana. Adakah yang paling istimewa di antaranya, pikirnya. Tanpa sadar, ada sebuah huruf yang paling menggoda tatapnya di antara jutaan huruf, ribuan kata, dan ratusan kalimat itu. Ia menemukan huruf N, ya, huruf N. Baginya, huruf itu begitu memesona, entah mengapa. Tanpa ragu lagi, sebuah jari tangannya digerakkan menekan tombol huruf N, maka tercetaklah di layar komputer itu huruf N, setelah huruf C dan I.

Walaupun begitu, ia masih merasa kehilangan sesuatu. Seketika terbersit keinginannya untuk mengadu, tapi pada siapa, pada apa, dan mesti bagaimana. Sesungguhnya ada dua tempat yang pernah menjadi tempatnya mengadu. Pertama, yaitu perempuan yang kini telah pergi dan tidak akan pernah kembali itu. Sementara yang kedua adalah orang tua kandungnya yang juga kini telah tiada. Tentang kedua orang tuanya, ia banyak mengenang, yaitu masa ketika kedua orang tuanya masih selalu berada di sampingnya, melindunginya, menyayanginya, dan senantiasa membuatnya berarti. Ayahnya ialah seorang pejuang. Ia gugur ketika melawan penjajah, namun jasadnya tidak berada di taman makam pahlawan karena pemerintah tidak pernah berani mengakuinya sebagai pahlawan. Tapi walau bagaimanapun, ia yakin bahwa ayahnya pastilah tak pernah membutuhkan pengakuan dari siapapun. Ayahnya telah bertekad mengorbankan jiwa dan raganya untuk membela negeri dan bangsa ini tanpa pamrih sekalipun. Baginya, ayah merupakan cermin keberanian. Dan ibu, ibu adalah teladan kasih sayang. Ia merupakan sosok yang penuh welas asih, berjiwa besar, dan penyabar. Setelah kematian ayahnya, ia ingat bagaimana ibunya senantiasa menjaganya dengan keagungan dan ketabahan jiwa seorang perempuan hingga akhir hayatnya. Bagai pengorbanan Kunti kepada anak-anaknya: para Pandawa.

Kenangan itu pun menghilang. Di antara keragu-raguan, ia menyalakan sebatang lilin putih. Kadang seberkas cahaya bisa menjadi semacam pelepas ketegangan kala kegelapan tak lagi mampu untuk mengusir resah. Namun, dengan cahaya itu, ia tak juga mampu mengenal apapun. Telah lama, begitu lama sekali ia merasakan itu. Mungkin sejak rasa itu hilang. Sebuah perasaan yang tak pernah ia percayai hingga kini. Perasaan yang menghempasnya di antara penderitaan akan luka dan pedih yang sangat dalam. Tetapi, ia sepertinya enggan untuk menjelma pertapa dan menjalani hidup yang masokis. Sebagaimana kesadarannya yang tak pernah mengijinkannya untuk terus-menerus berputus asa.

“Buatkan aku sekuntum bahagia!” Ia mencoba untuk bicara.

Bahagia? Tiba-tiba ia tersadar dan mencoba merenungi kata-katanya sendiri. Bukankah bahagia itu hanyalah sebuah lelucon konyol tentang hidup yang sesungguhnya hanya semu belaka. Ah, ia mungkin tak ingat lagi apa yang pernah dikatakannya dulu tentang bahagia. Sambil berpikir tajam, jari tangannya tanpa sengaja menekan tombol huruf T. Sementara ia sendiri tetap bergumam dengan kata bahagia. Mencari-cari jawaban yang tak pernah ia punyai. Namun, tatap matanya tetap menerawang, seakan menembus setiap batas realita. Hingga sepersekian detik kemudian ia kembali tersadar. Ia paham bahwa miliaran mimpinya pun pasti tak akan pernah mampu memahami apa arti bahagia, sebab ia tak pernah mampu benar-benar merasakannya, baik di masa lalu, kini, atau di masa yang akan datang sekalipun.

Lalu, apakah yang selama ini ia tunggu? Ia sendiri pun sebenarnya tak pernah mencoba untuk mengerti. Ruang yang masih tetap kosong dan lembab, lembaran puisi yang berserakan, dan layar komputer dengan deretan empat buah huruf yang tertera di dalamnya, menunjukan apa yang telah dicapai dan di jalaninya selama ini: sebuah romantisme hidup yang penuh fatamorgana. Benarkah itu semua yang ia cita-citakan selama ini? Tak pernah ada yang tahu. Sementara deretan empat huruf di layar komputer itu sepertinya menunjukan sesuatu. Dan tiba-tiba sebuah huruf baru pun muncul, entah dari mana datangnya, menambah deretan huruf itu menjadi lima buah. Huruf A berada paling akhir setelah huruf C, I, N, dan T. Kemudian kelima huruf itu pun terlihat bercahaya. Sungguh, sebuah keanehan yang mistis. Apakah deretan huruf itu mengungkapkan sesuatu? Kini ia tak akan pernah mampu lagi untuk menjawab. Selamanya hanya diam, diam, dan diam, menuju kesunyian yang paling dalam.

Bandung, 07122003, 04:00

No comments: