Mengapa kau selalu saja menimbun-nimbun masa lalu. Sedang kita belum juga memastikan akan ke mana kita melangkah. Kenangan pahit ialah semacam labirin tak berujung, yang hanya akan membuat kita tersesat di dalamnya, masih juga kau tangisi kepergiannya, sementara jejak yang ia tinggalkan telah begitu lama tersapu angin dan hujan. Lalu untuk apa pula aku ada di sini jika tidak untuk berbagi. Sia-sia saja kau tangisi, sampai kapan pun juga ia tak akan kembali.
Mungkin kau masih ingat, kutemukan kau di sela-sela tangismu sore itu, di sebuah taman yang muram. Kekasihmu pergi dan kau masih tak rela untuk melepasnya. Apalagi yang harus kukatakan saat itu, selain beberapa patah kata untuk ketegaranmu. Akhirnya, lambat laun tangismu itu mereda, dan kau mulai mencoba untuk tersenyum ketika di kejauhan sana kau melihat tiga orang bocah berlari-lari kecil dan bermain-main untuk kemudian terjatuh. Teringat masa kecil, ujarmu.
Tapi itu bukan kali pertama dan terakhir. Di waktu yang lain, aku pernah menjumpaimu tengah meratapi foto usang laki-laki yang telah meninggalkanmu itu. Hatiku bergejolak dan sesak. Terlebih kau hanya mampu untuk menangis. Apalagi yang harus kulakukan, aku hanya tak ingin melihatmu bersedih karenanya. Maka kurampas foto itu darimu, lalu kurobek menjadi bagian-bagian kecil yang tak mudah lagi untuk dikenali. Kau pun marah dan menamparku. Mencaci maki dengan kata–kata kotor dan kejam. Aku hanya terdiam. Dan airmata pun kian menderas tumpah di pipimu yang senantiasa memerah. Namun, tiba-tiba kau seperti tersadar telah melakukan suatu kesalahan. Di sela-sela tangismu kau meminta maaf, kau katakan bahwa kau sangat merindukannya untuk kembali, walau sebenarnya itu adalah hal yang tak mungkin terjadi. Dan itu membuat aku kian tak mengerti.
Keesokan harinya kau hadir dalam keceriaan, tapi aku belum juga mampu untuk menerka arti kegembiraanmu itu. Kutatap lekat-lekat bola matamu yang berbinar-binar. Lalu kukatakan saja bahwa kau tampak begitu memesona dengan tatap mata yang seperti itu. Kau tersenyum, lalu bertanya tentang sesuatu yang paling aku harapkan selama ini. Aku tak perlu waktu lama untuk berpikir, karena hal yang paling kuharapkan adalah saat-saat untuk selalu bersamamu, kapan pun dan di mana pun. Tapi tentunya aku tak seterus terang itu. Kukatakan saja padamu bahwa aku sangat mengharapkan kebahagiaan. Sebuah jawaban yang sangat klise dan abstrak. Kau pun tersenyum dan mendoakan semoga aku mendapatnya. Akan tetapi, ketika aku kembali bertanya tentang hal yang paling kau harapkan, segalanya berubah dengan tiba-tiba. Pandanganmu menunduk. Wajahmu mengabarkan kemuraman yang meraja. Kau mengalihkan pembicaraan dan berpaling seketika. Ah, sepertinya aku telah salah bicara. Entahlah.
Lalu kau pun menjalani keseharian dengan sebagaimana mestinya. Rutinitas yang biasa kau jalani. Kau adalah seorang putri pembesar. Segalanya bisa kau miliki tanpa terkecuali. Sementara aku hanyalah seorang penjual bunga yang berada tak jauh dari rumahmu. Hanya sesekali kita berjumpa. Itu pun jika kerinduanmu akan bunga-bunga telah menjerat rutinitas kerjamu. Aku adalah pungguk. Sedangkan kau adalah rembulan yang begitu dirindukan. Tapi kau bukanlah seorang yang angkuh, karena pada akhirnya perlahan-lahan telah kita bina hubungan baik yang sekadarnya.
Kita adalah sahabat baik yang sama-sama menyukai bunga, begitu katamu selalu. Tapi aku mengelak karena entah bagaimana mulanya, tiba-tiba saja aku menaruh hati padamu, tentu saja saat itu aku hanya bisa mengungkapkannya dalam anganku sendiri, karena aku tahu bahwa mengungkapnya padamu hanya akan membuat semua yang telah kita bina selama ini menjadi porak poranda. Biarlah, hal itu kusimpan baik-baik, hingga tiba saat yang sungguh-sungguh tepat.
Selebihnya, aku mencoba untuk membangun dan menciptakan hal-hal yang indah bersamamu. Hingga suatu saat, kalau pun impianku kandas, setidaknya ada hal-hal membahagiakan yang pernah kita kenang. Semacam perjalanan-perjalanan manis yang pernah kita lalui dengan menyenangkan. Membawamu dalam rasa ceria dan tawa yang renyah, juga senyum yang menawan. Pernahkah kau ingat, di suatu senja yang merona, kubawa kau menuju ladang bunga. Kita hirup tebaran aroma bunga-bunga yang tengah memekarkan diri. Lalu, kita petik bunga-bunga itu bersama. Setelah sebelumnya kuajari kau cara menanam, merawat, memetik, dan menyiram bunga dengan cara yang tak biasa. Di tengah kebersamaan kita, kau berkata ingin menjelma bunga. Ia adalah perlambang cinta dan warna hidup, katamu saat itu. Ia hadir dengan kecantikan dan pesona yang sempurna. Dikagumi dan dipuja siapa pun. Dinantikan dan diharapkan kapan pun. Ah, sebuah impian yang indah. Jika demikian, menjelmalah bunga di taman hatiku. Akan kurawat, kusirami, dan kujaga senantiasa hingga ia tumbuh dan memekarkan diri dengan pesona dan keharuman yang abadi. Tapi kenyataan ternyata tak semudah harapan. Mengharapkannya berarti sejauh jarak yang terbentang antara langit dan bumi. Hanya mimpi yang tak kan tergapai.
Namun, aku tahu, sangat tahu, di sela-sela keriangan wajahmu, ada sesuatu yang mengendap, kesedihan yang kau tebar menjadi lumut-lumut penghuni kedalaman. Sesuatu yang tak terkatakan, tapi begitu kau rasakan. Belenggu yang menjeratmu hingga kemana pun kau melangkah. Ketahuilah bahwa aku telah terbiasa untuk menangkap banyak hal yang kau simpan. Mungkin ada banyak alasan yang bisa kau ciptakan. Ada banyak kebenaran yang ingin kau tutupi. Tapi mungkinkan segalanya bisa terhindari? Sementara segenap rasa kehilangan itu masih juga kau bawa serta.
Ada banyak alasan untuk mempertahankan cinta. Sebagaimana juga ada banyak alasan alasan untuk melepaskannya. Dan kau adalah jenis perempuan yang begitu memuja kesetiaan. Tak mampu perpaling ke lain hati walau telah kau jumpai pula cinta sepahit empedu. Rasa kehilangan itu tak juga mampu kau pupuskan. Sebaliknya, sedikit demi sedikit, kau simpan menjadi tumpukan karang yang tak kan goyah dihantam seribu gelombang sekalipun. Ada banyak cara untuk memupuskan sedih, tapi kau telah memilih jalan yang paling sesat.
To be Continued
09 August 2006
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment