06 October 2006

MENGAPA AKU SELALU MELIHAT PEPERANGAN DI WAJAHMU

(1)
Jika aku tak sempat untuk mengalah, mungkin
pertemuan kita hanyalah sebuah ketiadaan. Sebagaimana lelah
yang mula-mula memaksaku untuk sekedar singgah
di suatu tempat bernama angkuh. Tiada alasan lain untuk berpijak.
Biarlah serpihan waktu akan menjadi pertanda.
Bahwa runcing hujan suatu saat akan benar-benar reda.
Bersama tumpukan malam yang tak pernah lelap.
Karena aliran sunyi telah menyadarkanku
akan makna kebersamaan dan sisi-sisi perbedaan.

Berapa lama lagi kita harus memaknai sebuah penantian?
Sementara kerinduan yang bergetar di sudut matamu
kian terasa sunyi. Hanya sesal sesekali menyapa
ruang pertemuan kita. Dan lembaran perdebatan
melarutkan segenap resah yang pernah kau ukir
di dinding kebisuan. Ada khayal yang lembab
dan rintik airmata di sana.
Sungguh.

(2)
Di sudut kamar ini, waktu terpecah menjadi kepulan asap
yang meleleh tajam. Separuh percakapan mendekatkan kita
pada sebongkah luka. Membelai peraduan angan di antara tawa
yang mentah. Seperti kepedihan lampau yang menampar
nyanyian kabut. Senantiasa mengalirkan kita
dalam sebuah kisah kehidupan yang berliku.
Meracuni celah-celah kelam dan gemertak lelap mimpimu.
Melarutkan getirnya suasana bersama sepenggal dongeng
tentang peradaban kota. Dan suatu ketika,
angin yang berhembus dingin telah menghantarkanmu
pada lirihnya kenyataan. Keluhan mungkin menjadi saksi
yang membatu dalam ruang-ruang keniscayaan.

Mengapa aku selalu melihat peperangan di wajahmu?
Menyuarakan kemelut yang tak pernah reda.
Berbayang mendung dalam kegelisahan amarah.
Mengharapkan penghargaanmu hanyalah lukisan kesia-siaan.
Dengan celoteh janji-janji tak kunjung berdetak.
Namun keyakinanmu itu menyulut simpati senja.
Mewarnai satu-satunya jawaban atas sesuatu
yang tak pernah menentu. Terkadang ketidakmengertian
yang berpendaran kian memaksa kita untuk selalu patah hati.
Mencernakan rasa yang terbelah oleh nyanyian awan berarak.
Sisa-sisa khayalan, segenggam perenungan, dan rindu
berlayar menembus pertaruhan hidup.
Telah lama kita terpendam di sana.
Dalam kesenyapan.

(3)
Entah, aku tak lagi mampu untuk mengeja waktu.
Kala kemarau tiba-tiba mengabarkanku
akan datangnya sebuah perpisahan panjang. Sebab langit,
kini tak mampu lagi untuk membendung gelisah malammu.
Ketika dingin mengantarkan kesepian
yang menjelma patahan jarum. Ialah bunga
yang dahulu sempat kau tanam. Kini telah membunga
dengan seribu keharuman. Membuai daun-daun
yang mengering di ranting-ranting yang patah.
Keinginanmu hanyalah untuk menuainya
dengan segenap ketulusan. Penjelajahan asing pun dimulai.
Namun kecemasan itu masih terasa mengikis gerbang asa.
Dan aku sempat menyangsikan bahwa mentari
akan memeluknya dengan penuh kesetiaan.

Mungkin. Suatu saat nanti jejak-jejak mimpi
akan menjelma secawan anggur. Menggoda perjalananmu
di tepi penghentian terakhir. Tapi aku tak mampu
untuk melukis nuansa perjalanan kita selama ini. Lagi pula,
serpihan puisi mungkin hanya akan menghantarkanmu
pada sunyi. Hingga sekilas nurani terdengar berbisik lirih.
“Kini kubiarkan embun pagi mempersembahkan sekuntum doa padamu.”


Bandung, 9 Juli 2003

No comments: